Hasil MBTI test, sebuah jenis kuesioner psikometri yang saya ambil pada tahun 2019, ternyata cukup mengejutkan. Setelah merenung, akhirnya saya menyadari bahwa saya telah mengalami perubahan cara pandang maupun mengambil keputusan. Diam dan berisik, dua buah ekspresi yang tidak lagi saya ungkapkan dengan spontan. Semakin beranjaknya usia, saya pun memiliki kecenderungan lebih lama menyisihkan waktu untuk berbicara, berpikir dan menjawab. Saya memiliki kecenderungan sebagai extraverted. Saya seringkali terjebak ke dalam kondisi dimana perhatian saya terfokus pada masalah orang lain, lalu merefleksikan masalah itu kepada diri sendiri secara berlebihan sehingga saya selalu merasa butuh membenahi diri.
Kelelahan pun menjadi teman baik saya sepulang dari kantor.
Saya berusaha mengusir kelelahan itu dengan cara yang justru aneh, yakni membuat badan saya lebih lelah. Mendaki gunung pun menjadi pilihan saya. Dengan jiwa muda yang masih menggelora, mendaki gunung bersama teman-teman mampu membuat saya lupa tentang obsesi saya untuk memperbaiki diri sendiri. Ya memperbaiki diri sendiri meskipun sebenarnya tidak ada yang salah dengan diri saya. Mendaki gunung membantu mengalihkan pikiran saya.
Ingatan saya pun melayang pada beberapa tahun yang lalu. Saat itu suasana kereta ekonomi masih belum senyaman sekarang. Di setiap stasiun dimana kereta sejenak berhenti untuk mengisi bahan bakar, ada para penjaja makanan yang masuk berkeliling di dalam kereta. Disitulah kami bisa menikmati hiruk-pikuk penumpang dan penjual yang saling tawar menawar harga. Tentu saja sambil ditemani dengan tas keril kami yang diapit kaki sehingga membatasi gerak namun untung saja tas itu tidak membatasi tawa kami yang selalu tergelak. Namun perjalanan itu menyisakan sebuah penyesalan yakni ketika kami menyinggahi Kota Surabaya. Kenapa? Well, kami tidak memiliki cukup waktu untuk menikmati indahnya Ibu Kota Provinsi Jawa Timur itu. Next time, saya berjanji akan kembali untuk mengunjungi Monumen Tugu Pahlawan dan mengecap makanan khas rujak cingur, nasi krawu, tahu tek, tahu campur, lontong Balap, dan rawon.
Tahun 2018 pun datang. Sayang sekali, saya masih tidak bisa menepati janji untuk ke pulau Jawa bagian timur lagi, malah berangkat ke Sumba Barat Daya untuk menjelajah kampung-kampung adat disana. Jujur saya masih belum bisa melepaskan kesukaan pada alam, tapi yang membedakan sekarang saya lebih memilih berjalan sendirian atau hanya ditemani seorang yang sangat mengenal saya. Jiwa Interverted INFJ-T sepertinya memegang peran di akhir tahun itu. See, saya pelan-pelan berubah?
Heritage favorit saya: Kampung Adat Ratenggaro dan Praijing
Saya terpesona dengan Kampung Adat Ratenggaro dan Praijing. Suasananya sangat hening dan terawat. Warga desanya terampil membuat hiasan dan kain tenun mempesona. Namun sangat disayangkan distribusi pakaian layak bagi anak-anak dan buku-buku bacaan menarik sepertinya belum lancar dan merata. Ini yang menjadi penggerak saya ingin sekali memperkenalkan tempat-tempat heritage yang lain kepada anak muda Indonesia. Selain mempelajari bangunannya, alat musik tradisional, kerajinan tangan yang sangat bernilai dimata orang asing namun masih terasa mahal bagi millennial generation, saya berharap heritage di Indonesia bisa dilirik dengan serius oleh pemerintah kita sendiri dengan menyediakan platform social media yang cakupannya lebih luas.
Bulan Oktober tahun ini, saya diajak berkolaborasi untuk membuat buku tentang heritage. Kegiatan ini memaksa saya membuka galeri foto untuk mencari tempat mana saja yang pernah saya kunjungi yang ada genre Heritage-nya. Awalnya saya tidak percaya diri cerita saya akan menarik. Namun ternyata kolaborasi itu tidak mempunyai obsesi yang sedikit, tapi lebih ke visi dan misi yang menurut pengalaman saya unik dan agak sulit. Apalagi kalau bukan cara bagaimana membuat orang lain membuka mata tentang heritage di Indonesia melalui konten-konten ringan bahkan motivasi yang dianjurkan malah berasal dari K-Pop Band terkenal BTS yang sekarang dipatenkan menjadi warisan budaya oleh Pemerintah Korea.
Wow banget kan! Dengan segudang rencana akhirnya komunitas yang saya ikuti ini melahirkan website sebagai platform sharing cerita, kontes, bahkan info-info mengenai heritage di seluruh dunia. Iya, tidak hanya mencangkup Indonesia ternyata. Dan saya baru ingat, ketika ke Singapura begitu tercengangnya saya melihat bangunan apik yang ternyata adalah museum. The Heritage Opera, telah membuat saya lebih mendalami rasa tertarik pada Warisan Budaya di seluruh penjuru dunia, khususnya Indonesia.
Memori di Seah Street, Singapura
Tulisan kiriman Asasena.