Berbicara tentang heritage membuat ingatan saya melayang ke tahun 1997. Tahun tersebut memang sangat spesial bagi saya. Bukan saja karena tahun itu adalah tahun kelahiran Cha Eunwoo dan Jeon Jungkook, tapi di tahun itu saya akhirnya resmi menjadi penduduk Bandung Raya. Kecantikan koridor palem raja dan bangunan-bangunan tua yang menghiasi Kota Bandung telah menarik perhatian saya sejak kecil. Tinggal di Bandung pun kemudian menjadi salah satu wishlist saya saat remaja. Jadi ketika salah satu SMA favorit meluluskan aplikasi saya, bisa dibayangkan dong betapa gembiranya Ree versi remaja?
Bangunan SMA saya terletak di sebuah kawasan militer yang terkenal di jantung Kota Bandung. Bangunan peninggalan kolonial berwarna putih tersebut dirancang oleh arsitek Belanda bernama Schoemaker. Saya pun kemudian baru tahu jika Schoemaker pernah menjadi rektor ketujuh Technische Hoogeschool te Bandoong, atau yang kini popular dengan nama Institut Teknologi Bandung.
Bersekolah di tengah-tengah kawasan militer kota memberikan nuansa sendiri bagi saya yang menghabiskan masa kecil di Jakarta. Kawasan yang masih terpreservasi dengan baik itu seakan-akan menghubungkan saya dengan kehidupan di era pendudukan Belanda. Ditambah pula beberapa guru masih rajin menceritakan narasi-narasi mengenai bangunan sekolah di masa lampau termasuk lapangan Bali yang menjadi lokasi kelas olahraga kami. Saat itu, meskipun saya memiliki ketidaksukaan terhadap pola pendidikan di SMA tersebut, namun di lain pihak, saya sangat menikmati suasana Kota Bandung dengan atmosfir kota kolonial yang kental.
Masuknya saya di Jurusan Planologi kampus gajah menambah kecintaan saya pada Kota Bandung. Perjumpaan dengan buku-buku karangan almarhum Haryoto Kunto yang tersimpan apik di perpustakaan jurusan memantik ketertarikan lebih dalam pada topik-topik seputar kota tua dan bangunan bersejarah. Hingga akhirnya saya mulai mengikuti sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh para agen pelestari sejarah kota dan menjadi “bucin” urban heritage.
Setiap saya melewati Kawasan Braga, ada sebuah imajinasi liar yang selalu mengundang saya untuk membayangkan kehidupan yang terjadi di masa lalu. Pakaian apa yang dikenakan oleh para noni-noni Belanda? Secantik apa gadis-gadis Parahyangan yang konon mampu membuat gadis-gadis dari Batavia panas dingin dan para lelaki Belanda tergila-gila? Sebanyak apa jumlah kantung belanja para petinggi Belanda saat mereka berbelanja di kawasan yang memiliki sebutan sebagai pertokoan paling terkenal di Hindia Belanda itu?
Masa gemilang tersebut jelas sudah lewat, begitulah kesan saya saat melihat Braga di tahun 2000an. Toko-toko yang berjuang untuk bertahan hidup, coretan grafitti yang mengotori dinding-dinding bangunan, dan sejumlah seng yang menutupi beberapa bagian kawasan memperjelas situasi tersebut. Hati saya benar-benar sedih ketika membandingkan kondisi di tahun 2000 dengan foto-foto ketika Braga sedang jaya. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil Braga sebagai topik tugas akhir kelulusan. Status Braga sebagai salah satu komplek laboratorium art-deco terbesar di Asia Tenggara tidak lagi dikenal oleh banyak penduduknya. Miris memang, tapi demikian kenyataannya.
Tidak banyak yang tahu cerita di balik megahnya gedung Societeit Concordia maupun Maison Bogerijen jika mereka tidak pernah mengikuti tur-tur wisata heritage. Saya pun lulus kuliah sambil menyaksikan satu persatu bangunan tua di Kota Bandung hilang dan digantikan oleh bangunan-bangunan baru. Sedih tapi saat itu apa yang bisa saya lakukan?
Petualangan saya ke mancanegara kemudian kembali membuka wawasan saya mengenai kota-kota yang justru terkenal akibat keberadaan heritagenya. Ketertarikan saya kepada kota tua pun semakin menjadi-jadi. Setiap berpetualang ke daerah tertentu, heritage tourism pasti menjadi pilihan saya. Mengunjungi museum, situs-situs bersejarah dan membeli buku-buku yang terkait dengan sejarah kota yang saya kunjungi selalu masuk ke dalam to-do-list. Beberapa kali saya pernah diprotes oleh kolega seperjalanan karena alih-alih pergi berbelanja tas atau sepatu di outlet terkemuka, saya malah melipir ke museum dan kawasan kota tua. Toko buku di setiap sudut bandara pun menjadi salah satu tempat hunting di sela-sela perjalanan dinas atau wisata. Terkadang saya sengaja menyediakan satu tas kosong untuk memborong buku-buku berisi foto tua sebuah kota atau sejarah-sejarah mengenai perkembangan kota.
Melihat foto-foto di masa lalu adalah salah satu kegiatan yang paling saya sukai. Foto-foto tersebut seperti membawa saya menikmati proses time-slip ke era yang berbeda. Favorit saya tentu saja kota-kota yang berkembang di era kolonial. Gaya arsitektur bangunan dan penataan kota yang umumnya lahir dari upaya adaptasi masyarakat kolonial dengan wilayah pendudukannya memang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh.
Semoga bersama THO, saya bisa mengeksplorasi lebih banyak bangunan dan narasi mengenai kota-kota tua baik itu di nusantara maupun mancanegara.
***
Sumber foto: Bandungheritage