Sejak kecil, saya suka mengunjungi museum. Museum pertama yang dikunjungi adalah Museum Trowulan, yang berisikan barang-barang peninggalan Kerajaan Majapahit di kota kelahiran saya. Walaupun situs peninggalannya ada di Trowulan, tapi museum ini bertempat di tengah kota, agak jauh dari situsnya, dan bersisian dengan kantor kabupatennya. Saat itu saya ke sana bersama grup sekolah, saat masih SD.
Bertahun-tahun kemudian, saat awal kuliah di Bandung pada tahun ’90-an, saya tertarik untuk mengunjungi Museum Geologi. Bangunannya yang luas berarsitektur kolonial, dengan halaman yang luas tapi tak dipenuhi mobil parkir, menjadi daya tarik khusus bagi saya. Saat di museum, saya suka berlama-lama untuk melihat salah satu objek dan mempelajari kisah di setiap penjelasannya. Itulah sebabnya, museum yang sepi selalu jadi pilihan.
Begitu masuk museum, saya terpaksa mengerjapkan mata berulang kali, karena ternyata di dalam gedung yang bersih dan sangat terawat ini sangat gelap. Penerangannya di siang hari hanya mengandalkan sinar matahari dari pintu samping. Setelah terbiasa, barulah saya berjalan keliling lokasi, yang saat itu terasa sebagai museum pribadi, karena saya satu-satunya pengunjung di sini.
Sesuai namanya, museum ini menampilkan berbagai koleksi bebatuan dan lapisan bumi dari berbagai zaman. Koleksi favorit saya hanya satu: replika utuh kerangka dinosaurus yang berukuran raksasa dan tergantung di atap bagian tengah gedung, di atas rak pamer koleksi bebatuan! Sekadar info, saya ke sana 2 tahun sebelum rilis film Jurassic Park yang fenomenal itu. Jadi betapa bahagianya saat itu ketika saya melihat replika utuh sang hewan purba ini.
Saking penasarannya, saya langsung menghampiri penjaga museum di ruangan sebelumnya, lalu mengajaknya ke tempat Si Dino, dan bertanya detil tentangnya. Bapak penjaga museum ini pun dengan sabar menjawab semua pertanyaan, bahkan mengantarkan ke koleksi-koleksi yang terkait dengan era Si Dino ini, termasuk replika dari mammoth, sang gajah purba.
Sempat saya menanyakan dan mohon maaf, khawatir bermasalah jika ia terlalu lama meninggalkan pintu masuk tempatnya berjaga. Ternyata bapak ini justru senang dan menenangkan saya, karena museum ini jarang didatangi pengunjung, kecuali oleh rombongan darmawisata dari sekolah. Bahkan beliau mengatakan, baru saya ini pengunjung yang banyak bertanya, karena pengunjung lainnya biasanya sibuk mengamati dan berfoto dengan replika Si Dino saja!
Museum yang luas dan sejuk ini pertama kalinya diresmikan pada saat pembukaan gedung “Dienst van den Mijnbouw,” tanggal 16 Mei 1929. Peresmian ini bertepatan dengan pembukaan kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik ke-IV yang diselenggarakan di Institut Teknologi Bandung. Gedung ini berfungsi sebagai perkantoran yang dilengkapi dengan sarana laboratorium geologi dan museum untuk menyimpan dan memperagakan hasil survei geologi.
Pada zaman pemerintahan Belanda (1929-1941), Museum Geologi disebut Geologisch Laboratorium dan merupakan unit kerja dari “Dienst van het Mijnwezen” yang berganti nama menjadi “Dienst van den Mijnbouw”. Kemudian pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), “Dienst van den Mijnbouw” diganti namanya menjadi “Kogyoo Zimusho,” lalu berganti nama menjadi “Tisitutyosazyo,” di mana Museum Geologi merupakan bagian dari Laboratorium Paleontologi dan Kimia.
Setelah Indonesia merdeka, masih terjadi beberapa kali perubahan nama. Hingga akhirnya berdasarkan Permen ESDM No. 12 Tahun 2013, Museum Geologi menjadi Unit Pelaksana Teknis Museum Geologi (UPT MG), di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Melihat panjangnya sejarah yang dilalui, pantaslah jika koleksi di sini cukup lengkap. Sayang sekali jika museum sekomplet ini tidak kita kunjungi dan pelajari koleksinya. Siang itu saya sangat puas dapat melihat berbagai koleksi bebatuan, replika hewan purba, termasuk kisah lapisan bumi nusantara.
-
Hari ini, saya baru melihat-lihat situs Museum Geologi. Ternyata kini layanannya semakin menarik dan bervariasi. Di saat pandemi, museum juga telah ditutup untuk sementara. Namun, telah disediakan berbagai layanan, termasuk berbagai edukasi virtual (dapat dilihat pada tautan di akhir tulisan ini).
Semoga semakin banyak museum di Indonesia yang memiliki berbagai layanan dan koleksi yang lengkap dan inovatif begini. Bak kata peribahasa: tak kenal, maka tak sayang. Jika ingin menyayangi Indonesia, mari kita kenali sejarahnya, pelajari perjuangannya, dan lestarikan seluruh cagar budayanya. Semoga damai dan jaya selalu, NKRI tercinta!@fa.
Sumber sejarah dan foto Museum Geologi: http://museum.geology.esdm.go.id/profil/sejarah