6 April 1925 adalah hari yang gembira di peron stasiun Tanjung Priok. Hari itu adalah peresmian jalur kereta rel listrik pertama di Batavia yang menghubungkan Tanjung Priok dan Meester Cornelis serta bertepatan dengan ulang tahun ke -50 Staats Spoorwegen (SS). Sambil bersorak dan melambai-lambaikan bendera kecil di tangan mereka. Sebuah lokomotif listrik berwarna cokelat bergerak perlahan memasuki stasiun. “Tuuut” bunyi peluit panjang menggema di stasiun diiringi kilatan lampu blits kamera. Semua mata dan kamera mengarah ke lokomotif itu. Lokomotif tersebut baru didatangkan dari pabrik Werkspoor di Belanda beberapa hari yang lalu, “bonbon locomotief!!” sorak sebagian pengunjung sambil terkagum-kagum ketika lokomotif bernomor 3201 itu mendekat. Karena bentuknya yang kotak dan dibalut dengan cat warna cokelat, orang menganggapnya sebagai cokelat (bonbon) kotak berjalan.

Ketika Bon-bon berhenti di ujung peron, pengunjung mengerubungi dirinya untuk melihat lebih dekat. Seorang bocah lelaki Belanda berusaha keras melihat Bon-bon dari dekat. Usianya kala itu sekitar 5 – 6 tahun, namun karena dirinya terlalu pendek, Ia hanya bisa melompat-lompat di tengah kerumunan orang. Berkali-kali Ia melompat untuk mendapatkan pandangan yang jelas, namun gagal karena terhalang orang lain. Aksinya mendapatkan perhatian dari seorang pejabat SS yang sedang berada di lokomotif. Pria Belanda jangkung itu kemudian memanggil anak kecil itu untuk naik ke dalam kabin Bon-bon. Ia kemudian menyuruhnya duduk di kursi masinis dan mempersilahkannya untuk menarik tuas peluit lokomotif. “Tuuuut” bunyi peluit panjang menggema di stasiun. Anak itu sangat senang sekali mendengarnya, sementara pria itu hanya bisa tersenyum melihatnya dan memberikan topi masinis kepada anak itu. Sungguh momen yang tak akan terlupakan baginya.

Beberapa hari kemudian, Ia datang kembali ke stasiun Tanjung Priok untuk menemui Bon-Bon, lokomotif kesukaanya. Ia selalu melambaikan tangan ke semua kereta yang melintas di dekatnya. Ketika melihat Bon-Bon datang dari arah Mester Cornelis, Ia melambai-lambaikan tangan sambil melompat kegirangan. Aksi anak ini tak lama kemudian menjadi buah bibir hingga terkenal di koran. “Jan, si Bocah Penggila Bon-Bon” begitulah judul yang tertulis di harian Het Bataviasche Advertantantie Blad. Ia juga terkadang dijadikan bintang iklan untuk mempromosikan layanan kereta api milik SS.

Semua staf dan penumpang mengenali anak itu. Ia jauh-jauh datang dari Welteverden hanya untuk melihat Bon-Bon. Orang tuanya terkadang menemaninya di sana, akan tetapi karena mereka sibuk bekerja sebagai tenaga administrasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Ia lebih sering ditemani oleh asisten rumah tangga beserta anak lelakinya di sana. Walaupun mereka pribumi, tetapi sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh orang tuanya. Bahkan anak lelakinya pun bersahabat dengan anak majikannya, layaknya adik dan kakak yang sulit dipisahkan. Usia mereka hanya berbeda bulan saja kala itu. Pejabat SS yang pernah menyuruhnya naik ke lokomotif Bon-Bon pun memperbolehkan mereka untuk bermalam di hotel stasiun secara cuma-cuma setiap akhir pekan. Saat itu adalah masa keemasan stasiun Tanjung Priok, stasiun megah itu memiliki hotel transit bagi penumpang kapal laut yang baru tiba dari pelabuhan untuk beristirahat sebelum mereka melanjutkan perjalanannya kembali dengan kereta api menuju kota-kota di Pulau Jawa.

Hari terus berlalu, Ia masih setia menemui Bon-Bon di Tanjung Priok. Usianya 10 tahun, sekarang Ia hanya ditemani oleh anak lelaki asisten rumah tangganya. Mereka berdua diizinkan untuk bermain di stasiun dan menaiki kereta hingga stasiun Batavia Stad (Beos) yang baru saja selesai dibangun ulang pada 1929. Saat sedang duduk di kereta, Jan  mengungkapkan cita-citanya kepada sahabatnya untuk bekerja sebagai masinis demi bisa mengemudikan si Bon-Bon. Husni, sang sahabat menyambut baik cita-cita Jan. Karena Ia sering diajak bermain di stasiun dan naik kereta api, Husni pun juga bercita-cita sebagai masinis. Sejak saat itu, persahabatan mereka semakin erat. Benar saja, pada 1937 mereka berdua bekerja untuk Staatspoorwegen di usia 18 tahun. Jan berhasil menggapai cita-citanya dan mendapatkan lisensi untuk mengemudikan lokomotif listrik, termasuk Bon-Bon. Sementara Husni sahabatnya mendapatkan lisensi untuk mengemudikan lokomotif uap.

Pada suatu pagi yang cerah di tahun 1938 terdengar bunyi peluit kereta api. “Tuuuut” peluit itu berbunyi bersahutan. Dari kejauhan terlihat dua buah kereta berjalan beriringan dari arah Meester Cornelis dan Buitenzorg menuju Tanjung Priok. Sebuah lokomotif uap yang menarik kereta barang campuran dikemudikan oleh Husni melaju di jalur kiri sementara, lokomotif listrik Bon-Bon menarik kereta penumpang dikemudikan oleh Jan melaju di jalur kanan seperti sedang balapan. Walaupun sudah dewasa, tetap saja mereka masih seperti anak-anak yang sangat senang membunyikan peluit kereta. Jan sangat menyayangi lokomotif Bon-Bon. Setiap selesai berdinas, Ia tak sungkan membersihkan lokomotif itu seorang diri walau terkadang dibantu oleh Husni. Wajah tampan Jan seringkali memikat hati para penumpang wanita yang menaiki keretanya. Namun, karena Ia selalu sibuk dengan Bon-Bon, perjalanan cintanya selalu kandas di tengah jalan.

Rutinitas menyenangkan Jan dan Husni di sepanjang jalur kereta api di Batavia tidak berlangsung lama. Pada tahun 1942 suasana mencekam di Batavia ketika Jepang datang menyerbu. Banyak orang Belanda yang ditangkapi oleh Jepang dan dikirim ke kamp kerja paksa. Saat itu, keluarga Jan mulai terdesak dan memutuskan untuk melarikan diri ke rumah neneknya di Amsterdam, Belanda melalui jalur laut dari pelabuhan Tanjung Priok. Sebelum meninggalkan Batavia, Jan berpesan kepada Husni untuk menjaga lokomotif Bon-Bon. Ia bersikeras akan datang kembali setelah perang usai.

Jarak yang jauh tidak meredupkan persahabatan Jan dan Husni, di tengah perang yang berkecamuk, mereka tetap saling mengirim surat. Saat masa perang, kerja Husni semakin berat karena dipaksa terus-terusan oleh Jepang mengemudikan kereta barang untuk logistik perang. Hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaanya, Husni bisa merasa lega karena hari-hari beratnya telah berakhir. Kini Ia sudah mahir mengemudikan lokomotif listrik. Jan mengabarkan bahwa Ia sudah berkeluarga dan masih belum bisa datang berkunjung karena Belanda sedang dijajah oleh Jerman. Husni sangat khawatir mendengarnya.

Bon-Bon kini dikemudikan oleh Husni, lokomotif kesayangan sahabatnya itu menjadi kuda pacu perbaikan ekonomi setelah kemerdekaan. Ribuan orang dan berton-ton barang telah diangkutnya dari Bogor (Buitenzorg) hingga ke Jakarta (Batavia). Pada tahun 1970-an, usia tua dan muatan yang berlebih, membuat Bon-Bon sering mogok di tengah jalan dan harus ditarik oleh lokomotif lain. Pada tahun 1976, datanglah unit kereta listrik baru buatan Jepang. Kereta itu dapat melaju lebih cepat daripada Bon-Bon yang mulai sakit-sakitan. Husni sudah tidak lagi menjadi masinis, Ia menjadi tenaga administrasi di stasiun Manggarai. Ketika kereta model baru semakin banyak, Bon-Bon mulai terlupakan. Lokomotif listrik yang sejenis dengan Bon-Bon berakhir menjadi besi tua. Penuh karat dan terjerat semak belukar, Bon-Bon teronggok di kebun balai yasa Manggarai. Husni yang saat itu telah pensiun mengirimkan kondisi terakhir Bon-Bon melalui surat kepada Jan. Ia sangat sedih mendengar Bon-Bon sudah rusak dan terbengkalai. Namun, Ia belum bisa datang ke Indonesia karena kesibukannya sebagai pengurus museum kereta api di Belanda. Sempat terdengar kabar Bon-Bon akan dipotong-potong menjadi besi tua. Namun Husni dengan gentar menolak rencana tersebut, mengingat banyaknya kenangan indah di lokomotif itu. Ia juga sudah berjanji pada sahabatnya untuk melindungi Bon-Bon. Karena berteman dekat dengan petinggi perusahaan, keinginannya pun dikabulkan. Beruntung, salah satu anak Husni adalah seorang pimpinan kelompok pecinta sejarah perkeretaapian. Dengan segala upaya, mereka menggalang dana untuk memperbaiki Bon-Bon. Husni juga telah mengontak Jan, dan Ia bersedia membantu merestorasi Bon-Bon. Rekan-rekannya di Belanda juga ikut menyumbangkan dana serta dokumentasi untuk suku cadang Bon-Bon. Pada tahun 2013, restorasi selesai dilakukan. Bon-Bon kembali gagah seperti dulu. Sebagian mesinnya diambil dari unit kereta listrik buatan Jepang yang sudah tak terpakai. Husni bersyukur Ia masih diberikan umur panjang untuk menyaksikan Bon-Bon hidup kembali. Jan akhirnya datang di hari uji coba pertama yang dilakukan di stasiun Manggarai. Kedua sahabat itu berpelukan saling melepas rindu di depan Bon-Bon.

Perjalanan uji coba perdana Bon-Bon tidak begitu lancar, roda-roda tuanya terkadang macet sehingga Ia tidak bisa melaju lebih dari 20km/jam. Perbaikan lebih lanjut dilakukan supaya Ia bisa melaju lebih cepat, Jan tanpa kenal lelah membantu proyek perbaikannya. Husni sangat mengkhawatirkan kesehatan Jan. Pada tahun 2016, usahanya mulai membuahkan hasil. Bon-Bon bisa melaju hingga 50km/jam dengan menarik dua buah kereta penumpang tanpa masalah. Husni dan Jan mengusulkan kepada pejabat berwenang untuk memamerkan Bon-Bon pada festival hari kereta api nasional yang akan digelar pada 28 September di stasiun Tanjung Priok.

Bon-Bon memasuki stasiun Tanjung Priok, bunyi peluitnya dibalas oleh sorak-sorai pengunjung festival di peron stasiun. Jan yang berada di kabin masinis terharu melihatnya. Ia memeluk Husni dan kru lainnya sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras mereka. Mereka mempersilahkan Jan duduk di kursi masinis dan membunyikan peluit lokomotif, persis seperti yang Ia lakukan saat umurnya 5 tahun. Ia bahkan masih menyimpan topi pemberian pejabat SS dulu. Tangan rentanya menarik tuas, dan peluit panjang berbunyi nyaring. Ia tersenyum mendengarnya, tak lama kemudian Ia jatuh pingsan. Pertolongan pertama diberikan di klinik stasiun sudah diberikan, namun nyawanya tidak tertolong. Husni sangat terpukul melihat sahabat karibnya pergi untuk selamanya. Saat jenazahnya akan dibawa untuk disemayamkan, Ia menemukan secarik kertas terjatuh dari kantong baju Jan yang bertuliskan “Kereta api identik dengan keteraturan dan ritme, tetapi kendaraan ini juga memiliki segudang kenangan indah bagi setiap orang yang pernah menaikinya. Aku bahagia sekali melihat Bon-Bon hidup kembali. Jika aku meninggal nanti, tolong rawatlah dia dengan baik, agar ia bisa meninggalkan kenangan manis untuk anak-cucu kalian di masa mendatang.”

Akhirnya sebagai bentuk penghormatan, Jan dimakamkan dengan batu nisan berbentuk lokomotif Bon-Bon di taman stasiun Tanjung Priok. Husni hanya tersenyum ketika melihat bayangan Jan kecil yang melambai-lambai ke Bon-Bon yang sekarang berjalan setiap hari libur sebagai kereta wisata nostalgia tempo dulu. -TAMAT-

sumber foto: Fig.382. https://www.holechistorie.nl/films/134-heemafloc?fbclid=IwAR2AA0ECLmz96M5878nLxyk3g6jPU5Z3WOG3G6fa1llgOKCaTgPpOQYSdjM

About the author: Arditya L.
Tell us something about yourself.
error: Content is protected !!