Generasi Milenial dan Generasi Z sekarang mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa foto-foto mereka yang instagramable dengan memakai busana fashionable yang diambil di Jalan Braga merupakan cerminan Jalan Braga pada zaman Hindia-Belanda dulu. Orang-orang pada zaman dulu pun sama, mereka asyik berjalan-jalan sambil memakai baju-baju mewah yang mereka beli di toko-toko yang berada di Jalan Braga. Di jalan ini jajaran pertokoan menampilkan dan menjual busana-busana cantik dan mewah sebagai kebutuhan fesyen pada masa itu.

Atau, mereka juga mungkin tidak menyadari bahwa coffee shop dan restoran yang dijadikan tempat nongkrong dan mempunyai spot-spot instagenic untuk fotonya di zaman sekarang mempunyai fungsi yang sama dengan kedai-kedai kopi pada zaman dulu, yaitu sebagai tempat rendezvous para Preanger Planters (Pemilik Perkebunan) dan sebagai tempat untuk menunjukkan lifestyle-nya.

Jalan Braga memang dulu tidak tiba-tiba langsung dibangun dengan segala macam fasilitas dan kemewahannya. Tapi, sebelum menjadi pusat fesyen dunia dan lifestyle, Jalan Braga mempunyai cerita sejarah yang panjang. Jalan ini dulu hanyalah sebuah jalan yang bahkan awalnya tidak dilirik oleh orang sama sekali.

Sejarah Jalan Braga dimulai dari pembangunan jalan yang merupakan ambisi Gubernur Jenderal H.W. Daendles (1801 – 1811) untuk membangun De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang membentang sejauh 1.000 kilometer dari Anyer hingga ke Panarukan. Sebagian dari Jalan Raya Pos ini sekarang menjadi awal mula Jl. Jend. Sudirman, Jl. Asia Afrika, dan Jl. Ahmad Yani di kota Bandung.

Kemudian, karena kondisi kas Belanda yang terkuras akibat Perang Diponegoro (1825 – 1830) serta perang-perang perlawanan lainnya, membuat pemerintahan kolonial memberlakukan cultuurstelsel (Politik Tanam Paksa) dari tahun 1831 – 1870. Kopi, sebagai salah satu hasil bumi dari tanah Priyangan, harus dikirimkan ke tempat pengemasan bernama Koffie Pakhuis (Gudang Kopi) yang berada kira-kira satu kilometer di sebelah utara Jalan Raya Pos.

Pengiriman kopi itu dilakukan dengan melintasi jalan setapak berlumpur yang sekarang berkembang menjadi Jalan Braga. Jadi, Jalan Braga awalnya hanyalah sebuah jalan becek dan berlumpur yang sering dilewati oleh pedati pengangkut kopi. Makanya, Jalan Braga di masa itu dikenal dengan nama Karrenweg atau Pedatiweg. Tapi, akhirnya, Jalan Braga menjadi lintasan yang cukup ramai untuk pengangkutan kopi. Dengan lebar sekitar sepuluh meter, jalan ini dijadikan jalan penghubung antara De Grote Postweg (Jalan Raya Pos), yang sekarang menjadi Jalan Asia-Afrika, dengan Koffie Pakhuis (Gudang Kopi).

Bahkan sebelumnya, penyebutan Jalan Braga ini lebih parah lagi. Karena, awalnya jalan ini hanyalah sebuah jalan kecil di depan pemukiman yang cukup sunyi sehingga disebut Jalan Culik karena cukup rawan. Hingga tahun 1874, di sekitar jalan ini hanya terdapat enam sampai tujuh rumah yang terbuat dari batu. Makanya, orang-orang sering menakut-nakuti siapa saja agar tidak melewati jalan ini, karena terlalu sepi dan banyak pohon besar juga.

Baru sekitar tahun 1882, seiring dengan pendirian perkumpulan Tonil Braga, Asisten Residen Bandung yang bernama Pieter Sitjhoff mengganti nama Pedatiweg menjadi Bragaweg. Pada waktu itu jalannya diperkeras dengan batu kali, dan lampu-lampu minyak digunakan untuk penerang jalan.

Asal-usul nama “braga” sendiri sebenarnya masih simpang siur. Ada yang mengatakan kalau “braga” berasal dari nama Theotila Braga (1834 – 1924) seorang penulis naskah drama. Di kawasan ini pernah bermarkas perkumpulan drama bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen.

Sementara ahli sastra Sunda mengatakan kalau “baraga” merujuk pada jalan di tepi sungai. Memang, Jalan Braga ini terletak di tepi Sungai Cikapundung. Dan, Menurut  penulis sejarah almarhum Haryoto Kunto, kata Braga berasal dari bahasa Sunda “Ngabaraga” yang artinya bergaya, nampang, atau mejeng.

Perkembangan Bragaweg atau Jalan Braga dipicu oleh berdirinya De Vries, toko kelontong pertama di Bandung. Toko yang menjual kebutuhan sehari-hari ini banyak dikunjungi Preanger Planters (Pemilik Perkebunan). Keramaian De Vries membuat kawasan di sekitarnya ikut berkembang sehingga berdiri hotel, restoran, bioskop, dan bank. Kemudian beberapa orang Belanda mulai membangun kedai kopi dan toko pakaian.

Seiring dengan perkembangan zaman, dengan dibangunnya De Vries, Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka) dan Hotel Savoy Homann yang merupakan hotel kelas atas pada masa itu, Jalan Braga pun berkembang menjadi jalan utama.

Masa jaya Jalan Braga sebagai tempat berkumpul dan pusat perbelanjaan yang ramai dimulai pada tahun 1920. Banyak pengusaha yang memindahkan tempat usahanya ke jalan ini. Banyak orang Belanda yang membuka toko pakaian di sepanjang Jalan Braga dengan mengikuti model fesyen apa yang sedang terkenal di kota Paris-Perancis. Apa saja yang sedang menjadi trend di Paris dapat dipastikan menjadi trend pula di kota Bandung. Arloji buatan Swiss yang terkenal hanya bisa diperoleh di Toko Stocker yang ada di jalan ini. Di tempat ini juga, perusahaan Fuchs & Rens menjual mobil-mobil keluaran terbaru buatan Eropa.

Akhirnya, Jalan Braga menjadi sangat populer dan berkembang menjadi daerah pertokoan terkemuka di seluruh Hindia-Belanda. Tata letak pertokoan di Jalan Braga pun mengikuti model pertokoan yang ada di Eropa agar disesuaikan dengan perkembangan kota Bandung sebagai kota mode yang cukup termasyhur seperti halnya kota Paris pada masa itu. Kawasan ini menjadi pusat pertokoan eksklusif yang hanya menjual barang-barang berkelas. Konsep ini dicetuskan oleh wali kota Bandung saat itu. B. Coops yang menginginkan Jalan Braga menjadi pusat pertokoan bergaya barat di Nederland-Indies.

Selain belanja untuk kebutuhan fesyen, orang-orang onderneming (perkebunan) di sekitar Bandung dan para pribumi juga biasa bergaul dan berakhir pekan di Jalan Braga. Bukan hanya para onderneming saja, tapi mereka juga bergaul dengan para pribumi. Ruas jalan yang tidak terlalu panjang ini menjadi tempat jalan-jalan, dan juga sebagai tempat bersosialisasi bagi mereka.

Jalan Braga saat itu semakin terkenal tidak hanya di Hindia-Belanda saja, tetapi juga di luar negeri. Dari sinilah istilah kota Paris Van Java muncul, sehingga Bandung dijuluki sebagai Paris Van Java oleh warga Eropa yang bermukim di Hindia-Belanda. Mereka juga akhirnya menjadikan Bandung sebagai pusat kegiatan politik, intelektual, kesenian, budaya, hingga hiburan, dan rekreasi.

Itulah sejarah adanya Jalan Braga dari yang awalnya hanya sebuah jalan sepi dan berlumpur yang hanya di lalui oleh pedati pengangkut kopi sampai menjadi jalan yang berkembang menjadi pusat fesyen kelas dunia dan lifestyle. Jalan yang sebelumnya beraspal, kini sudah dilapisi dengan batu andesit. Ini sebagai salah satu upaya pemerintah kota Bandung untuk menghidupkan kembali Jalan Braga menjadi kawasan wisata.

Sampai saat ini di Jalan Braga masih tersisa beberapa bangunan-bangunan tua peninggalan zaman kolonialisme Belanda yang masih berdiri kokoh dan terawat. Beberapa dari bangunan tersebut ada yang dijadikan coffee shop, restoran, penginapan, dan pertokoan sehingga menjadi tempat nongkrong dan traveling bagi anak-anak muda Generasi Milenial dan Generasi Z. Berbagai jenis aksesoris, oleh-oleh, dan kuliner khas Bandung juga tersedia di sini. Pokoknya, jalan ini tidak pernah sepi, selalu ramai selama 24 jam.

 

Sumber referensi:

  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Braga
  2. https://nasional.okezone.com/read/2019/09/20/337/2107344/kisah-jalan-braga-kawasan-kota-tua-di-bandung
  3. https://pagguci.com/jalan-braga-bandung-sejarah-asal-usul-penamannya/
  4. https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/jalan-braga

Sumber Foto:

  1. https://pagguci.com/jalan-braga-bandung-sejarah-asal-usul-penamannya/
About the author: Yudi R.

- Travel Blogger
- A Backpacker who wants to travel Around Indonesia

error: Content is protected !!