Sepenggal Romansa di Jalan Asia Afrika

 JALANAN yang biasanya ramai itu kini tampak lengang. Beberapa sudut yang biasanya menjadi titik kumpul warga untuk bercengkerama kini senyap begitu saja. Pemandangan hanya menyisakan jajaran bangku kosong yang sesekali diduduki petugas kebersihan. Ya, pandemi mengubah banyak hal termasuk dinamika hiruk-pikuk kehidupan di sebuah jalan yang sarat oleh sejarah tersebut.

Seiring lonjakan kasus aktif Covid-19, Pemerintah Kota Bandung kembali menggiatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Imbasnya sejumlah jalan utama dibuka tutup, tak terkecuali Jalan Asia Afrika yang keberadaannya lekat dengan eksistensi Kota Bandung itu sendiri. Jalan yang sebelumnya selalu menjadi favorit warga dan pelancong itu kini seolah sedang berisitirahat sejenak, menepi dari riuhnya kegaduhan wabah yang entah kapan akan berhenti.

Lalu di suatu sudut jalan nampak seorang lelaki yang berpeluh keringat. Ia membuka kostumnya yang terlihat amat sesak nan berat. Sesekali ia duduk berjongkok untuk sekadar mengistirahatkan badan. Kostum Bumblebee yang ia pakai seharian itu tak begitu menghasilkan seperti biasanya. Hari ini tak lebih dari tujuh anak saja yang menggunakan ‘jasanya’, yang meminta foto bersama dan memasukkan lembaran uang atas jasa foto tersebut.

Begitulah sekelumit potret wajah Jalan Asia Afrika di masa pandemi ini, dari Gedung Merdeka hingga BRI tower berjajaran para cosplayer yang masih bertahan mengadu peruntungan. Tokoh-tokoh favorit anak seperti Batman, Wonder Women, Naruto, Kamen Raider, dan lainnya masih terlihat menjual jasa foto bersama dengan imbalan uang seikhlasnya saja. Cosplay sendiri merupakan seni berpakaian unik yang berasal dari Jepang. Seringkali disebut juga kostumasa yaitu hobi berpakaian dengan menggunakan aksesori dan riasan wajah seperti tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, dan pahlawan super.

Lompat ke belakang, sejak 1985 seni berpakaian unik itu sudah meluas dan populer di Jepang. Trennya mulai menular ke Indonesia sekitar tahun 2000-an.  Konon di negeri asalnya, para Cosplayer tak bisa sembarangan keluyuran di jalan, biasanya mereka hanya berkumpul di satu sudut taman. Mereka tidak diijinkan untuk berkegiatan di fasilitas dan transportasi umum dengan pertimbangan tidak semua kostum cosplay aman untuk dinikmati semua jenjang usia. Lain halnya dengan di Jepang, sebelum masa pandemi, seruas jalan di Asia Afrika itu tak ubahnya bak mini festival cosplay.

Kostum yang dikenakan tidak melulu bertemakan superhero. Ada juga yang unik beradapatasi dengan mitologi lokal, semisal Kuntilanak, Pocong, Siluman, bahkan Nyai Blorong. Ada yang terusik, ada juga yang tertarik. Faktanya, mereka adalah “penghuni’” tetap  di sepotong Jalan Asia Afrika. Biasanya jika akhir pekan tiba, Jalan Asia Afrika kian padat oleh pengunjung  yang kebanyakan datang dari luar kota. Sebagian duduk-duduk santai di bangku yang disediakan, lainnya asyik berselfie ria, serta berbagai aktivitas hiburan lainnya yang selalu mengundang massa sebelum Covid-19 datang menghadang.

Sebagaimana watak jalan yakni konfigurasi ruang yang mempertemukan berbagai manusia dalam dimensi yang sama. Maka jalan Asia Afrika adalah milik para penggunanya, baik yang sedang tergesa-gesa maupun yang berleha-leha saja. Baik yang mengerutu akibat kemacetannya maupun yang menikmati “kehidupan” lain diatas jalan yang sarat dengan rentang sejarah tersebut.

Seruas Jalan Berkelas

Mari menengok sejarah sejenak, Di suatu hari pada tahun 1809, Ijzeren Maarschalk (marsekal Baja) Herman Willem Daendels dengan gagahnya mengontrol pembangunan jalan raya yang melintasi Kota Bandung sekarang. Sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu ditemani oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah II.  Ketika sampai beberapa langkah ke timur dari Kantor Pikiran Rakyat sekarang, dia berujar sambil menancapkan tongkatnya “Zorg, dats als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota). Di tempat Daendels menancapkan tongkat itulah (Jalan Asia Afrika) kemudian ditandai sebagai titik Kilometer 0 pembangunan Bandung.

Haryoto Kunto Sang Kuncen Bandung dalam Karyanya yang monumental “Wajah Bandung Tempo Doeloe” (1984) mencatat, Daendels berambisi mengukuhkan kedudukan Belanda di Pulau Jawa dengan membangun Grote Postweg (Jalan Raya Pos). Infrastruktur jalan ambisius itu membentang dari Anyer Jawa Barat hingga ke Panarukan Jawa Timur. Bandung sebagai wilayah yang dilintasi pembangunan jalan harus segera terealisasi demi mendukung proyek prestisius tersebut. Kunto menuliskan, pada tanggal 25 Mei 1810 Daendels secara resmi memerintahkan pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke daerah Alun-alun sekarang.

Meskipun demikian, Bandung tak berdiri berkat prakarsa Daendels semata. Bupati Bandung WiranataKusumah II sebenarnya sudah merencanakan pemindahan penduduk ke wilayah Bandung sekarang sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Tatkala masih berupa hutan belantara, Sang Bupati sudah menemukan lokasi strategis sebagai ibukota yang sebagaimana kita ketahui saat ini.

Berdasarkan catatan Kunto, Jalan Asia Afrika yang dulunya bernama Jalan Raya Pos itu memang memiliki keistimewaan sejarah sebagai lokasi cikal bakal Kota Bandung. Keistimewaan itu terus berlanjut hingga beberapa masa ke depan seiring berbagai peristiwa dan kebijakan yang mengubah wajahnya. Misalnya pada jaman Kolonial Belanda, Jalan Asia Afrika sudah digunakan sebagai lokasi hiburan. Bahkan di antaranya tak sembarangan, seperti keberadaan Gedung Concordia (Gedung Merdeka sekarang). Di gedung tersebut yang bisa berkumpul hanyalah warga Belanda kelas elit. Concordia didirikan sebagai pemenuhan hasrat komunitas orang-orang Eropa kelas atas.

Sementara itu dalam buku “200 Ikon Bandung” (2010) yang diterbitkan Pikiran Rakyat dijelaskan, Gedung Concordia merupakan tempat berkumpul dan bersantai kaum Borjuis. Di tempat itu mereka mempertunjukan gengsi dan gaya hidup high cass mereka. Di dalamnya terdapat ruangan tempat minum (semacam bar), area bersantai, hingga spot untuk seni pertunjukan. Pada masa itu, Concordia adalah tempat paling mewah dan moderen. Material lantainya terbuat dari marmer yang diimpor secara khusus dari Italia. Belum lagi berbagai lampu kristal, ornamen, dan berbagai fasilitas yang tak bisa ditemukan di gedung lain. Maka tak heran, jangankan inlander (Orang Pribumi), warga kulit putih yang tidak memiliki akses ke dalam komunitas tersebut saja tidak akan diperkenankan masuk.

Concordia yang keberadaannya diprakarsai para Preangerplanter (Juragan Perkebunan) menjadi tempat yang teramat privat dan unreachable pada masanya. Kita mungkin bisa membayangkan, di gedung itu para meneer dan mevrouw tengah bersosialita dengan memakai busana glamour menikmati gaya hidup yang eksklusif. Selang berpuluh tahun kemudian, Gedung tersebut tetap eksis sebagai saksi sejarah berlangsungnya Konferensi Asia afrika (KAA). Acara akbar itu digelar persis sepuluh tahun pasca kemerdekaaan. Mata Internasional tertuju padanya yang juga jelas berimbas pada pamor Jalan Asia Afrika yang makin mendunia.

Betapa “seksi”nya Jalan Asia Afrika saat itu, apalagi selain Concordia, ada juga beberapa gedung lain, seperti Hotel Homann, Kantor Pos Besar, serta kawasan elit Bragaweg (Jalan Braga) dan Hotel Preanger yang lokasinya berdekatan. Dengan rangkaian sejarahnya itu, sulit memungkiri bahwa kawasan Asia Afrika memang teramat strategis. Tak mengherankan jika Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di kawasan tersebut menjadi yang tertinggi seantero Kota Bandung (Pikiran Rakyat, 14 Juni 2010).

Ngabandungan Bandung

Jalan Asia Afrika yang ikonik itu, mau tak mau mencerminkan wajah kota yang sebenarnya. Area kosmopolitan yang “diperebutkan” oleh riuh rendah kehidupan sosial di atasnya. Kawasan itu menjadi magnet yang entah mengapa selalu menarik minat untuk dikunjungi. Asumsi paling logis mungkin akibat dari nilai historisnya yang begitu melekat dengan keberadaan Bandung itu sendiri.

Mengenai asal muasal kata Bandung, ada banyak versi yang mencoba menjelaskan. Beberapa ahli mengaitkan pendapat berdasarkan toponimnya, semisal kata “bendung” yang mengacu pada terbendungnya Ci Tarum menjadi danau Bandung Purba. Geolog Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar dalam bukunya “Wisata Bumi Cekungan Bandung” (2009) menyanggah pendapat di atas. Pasalnya lokasi terbendungnya Ci Tarum itu bukan di Bandung tetapi berada di sekitar Ngamprah-Cilame, Padalarang. Menurut mereka, pendapat yang lebih rasional adalah kata Bandung berasal dari adanya dua sumur yang berpasangan.

Sebagaimana diketahui, di bantaran kiri dan kanan sungai Cikapundung (lagi-lagi di Jalan Asia Afrika) terdapat dua sumur yang saling berseberangan. Satu sumur berada di Gedung PLN (bagian barat Cikapundung), lainnya lagi di Kompleks Dinas Pekerjaaan Umum (bagian timur Cikapundung). Menurut Budi dan Bachtiar, kedua sumur yang berpasangan itu dalam bahasa Sunda disebut “Ngabandung”  atau “daerah sumur ngabandung.” Kemudian dalam pelafalannya kata tersebut disingkat dan lebih ringkas didengar menjadi kata Bandung saja.

Pendapat di atas memang belum tentu sahih dan terbuka untuk diperdebatkan lagi. Namun yang jelas, Jalan Asia Afrika merupakan tempat yang enak buat ngabandungan (mengamati). Tengok saja dinamikanya, di Jalan ini kita bisa leluasa ngabandungan mereka yang selfie dengan cosplayer, ngabandungan ruwetnya kemacetan di akhir pekan, ngabandungan tempat remaja nongkrong yang gaul nan stylish, ngabandungan kenapa Daendels bikin Bandung, ngabandungan kapan pandemi akan berakhir, ngabandungan apa saja yang menurut anda enak untuk “dibandungkan.”

Indra Setiawan, Penulis Lepas

Catatan: sebagian konten artikel ini telah dipublikasikan penulis di Kompasiana.

About the author: Indra_Setiawan
Hanya seorang penikmat sejarah yang kebetulan juga mahasiswa dan penulis lepas
error: Content is protected !!