Pada tahun ketiga puluh tiga Mal-yok dari Dinasti Ming (1605 M), yang merupakan tahun Eulsa dari pemerintahan Son-jo, pada bulan ketujuh, hujan besar turun. Hujan sederas ini belum pernah turun sejak berdirinya dinasti. Sebelum hujan turun, seorang pria dari Provinsi Kang-won (sekarang provinsi di Korea Utara) sedang memotong kayu di sisi bukit. Sementara ia sedang sibuk, seorang malaikat berbaju besi emas, menunggang kuda putih dan membawa tombak, turun dari surga. Penampilan sang malaikat begitu memesona, sehingga penebang kayu langsung mengenalinya sebagai Manusia Dewa. Seorang biksu Buddha membawa tongkat juga turun dengan keretanya. Penampilan biksu tidak kalah luar biasa.
Manusia Dewa menghentikan kudanya dan sepertinya sedang berbicara dengan biksu, sementara penebang kayu, yang terkejut dengan pemandangan yang luar biasa itu, menyembunyikan dirinya di antara pepohonan. Manusia Dewa itu tampaknya sangat marah karena sesuatu. Ia mengangkat tombaknya dan menunjuk ke empat mata angin sambil berkata, “Aku akan membanjiri seluruh bumi dari titik ini ke titik itu, dan menghancurkan penghuninya.”
Biksu yang mengikutinya menangis dan memohon agar ia berhenti dengan mengatakan, “Ini berarti kehancuran total bagi manusia; tolong biarkan murka-Mu menimpaku.” Karena sang biksu memohon dengan sungguh-sungguh, Manusia Dwa itu berkata lagi, “Kalau begitu, aku akan membatasinya hanya dari sana ke sini. Apakah itu cukup?”
Tetapi si biksu tetap memohon dengan lebih sungguh-sungguh, sampai Manusia Dewa menjawab dengan tegas, “Aku telah mengurangi hukuman lebih dari setengahnya karena kamu; aku tidak bisa menguranginya lagi.” Meskipun si biksu masih berdoa, Manusia Dewa menolaknya, sehingga akhirnya sang biksu dengan patuh berkata, “Jadilah kehendak-Mu.”
Mereka mengakhiri pembicaraan dan keduanya pun pergi, menunggangi udara ke surga. Keduanya telah berbicara untuk waktu yang lama, akan tetapi jarak yang agak jauh antara mereka dan penebang kayu membuat si penebang kayu tidak mendengar dengan jelas semua yang mereka ucapkan.
Namun, si penebang kayu tetap pulang ke rumah dengan sangat tergesa-gesa. Ia kemudian bersama istri dan seluruh keluarganya melarikan diri, dan sejak hari itu lah hujan mulai turun. Dalam fenomena hujan deras ini, Gunung Otai runtuh dan sisanya tenggelam hingga menjadi danau yang luas, semua penghuninya hancur, kecuali penebang kayu dan keluarganya saja yang telah menyelamatkan diri.
featured image: https://www.globaltimes.cn/content/1095598.shtml