Tidak mudah untuk tinggal di negara yang berlanskap padang pasir seperti Arab Saudi. Selain suhunya yang cukup ekstrem (38 derajat celcius pada siang hari dan -18 derajat di malam hari) curah hujannya juga sedikit (kurang dari 250 mm per tahun). Penduduknya perlu mencari oasis untuk dapat bertahan hidup, yaitu daerah yang berair cukup untuk permukiman manusia dan tumbuhan di tengah padang pasir yang gersang.
Salah satu oasis terbesar di Arab Saudi dan juga di dunia adalah kota Al-Ahsa, yang memiliki luas sekitar 85.4 km2 dan terletak terletak sekitar 60 km ke pedalaman dari pantai Teluk Persia. Al-Ahsa menjadi situs Warisan Dunia pada tahun 2018. Ada 12 lokasi yang ditetapkan sebagai Warisan Dunia, yaitu Oasis Timur, Oasis Utara, Oasis Tradisional As-Seef, Suq Al-Qaysariyah (Pasar Qaysariyah), Qasr Khuzam (Istana Khuzam), Qasr Sahood (Istana Sahoud), Qasr Ibrahim (Istana Ibrahim), Situs arkeologi Jawatha, Masjid Jawatha, Desa Al-‘Oyun, Situs arkeologi Ain Qannas, dan Danau Al-Asfar. UNESCO juga mencatatnya sebagai Jaringan Kota Kreatif sejak Desember 2015.
Al-Ahsa telah dihuni sejak zaman prasejarah, berkat melimpahnya air di wilayah tersebut. Kata Al-Ahsa sendiri merupakan bentuk jamak dari “Al-Ḥisā” yang mengacu pada pasir yang memiliki lapisan kedap di bawahnya. Ketika hujan turun, air akan meresap ke dalam pasir dan terlindung pula dari penguapan serta tertahan di lapisan dasar, membentuk akuifer. Seiring perkembangan zaman, Al-Ahsa juga mengembangkan mata air artesis (sumur bor), dan kini memiliki 280 mata air artesis.
Keberadaan mata air tawar alami ini juga mendorong usaha pertanian khususnya budidaya kurma. Terdapat 2,5 juta pohon palem termasuk pohon kurma yang diari dari akuifer. Al-Ahsa mampu memproduksi lebih dari 100 ribu ton kurma setiap tahun. Selain kurma, Al-Hasa juga menjadi salah satu dari sedikit daerah di Semenanjung Arab yang mampu menanam padi.
Selain pertanian, Al-Ahsa juga terkenal sebagai produsen minyak bumi. Terdapat penemuan deposit minyak bumi di dekat Dammam, kota terpadat keenam di Arab, pada tahun 1938. Ladang minyak tersebut kemudian diberi nama Ladang Ghawar. Modernisasi semakin gencar di kota tersebut demi memaksimalkan produksi minyak. Tingkat produksi di Al-Ahsa pun berhasil meningkat hingga mencapai 1 juta barel (160.000 m3) per hari pada tahun 1960. Kini Al-Hasa juga menyandang status sebagai ladang minyak konvensional terbesar di dunia.
Featured Image: whc.unesco.org/en/documents/182368