“Kau sungguh tidak ingin mencobanya?”

Aryo melirik lelaki tinggi berkulit memplak yang berdiri dengan pandangan meledek di sampingnya, “Tidak, Janson. Sekali lagi, sungguh tidak,” tandasnya.

Pria bernama lengkap Janson van Groot itu terkekeh, “Saya tahu kau tidak pernah tertarik dengan hal-hal seperti itu.”

Trem uap yang berangkat dari jantung kota Batavia mengantarkan keduanya ke halaman Societeit Harmonie, gedung mewah bercat putih yang menjadi primadona kaum elite Eropa dari masa ke masa. Bagi Aryo, tidak ada yang menarik dari tempat itu selain tamannya yang dipenuhi meja dengan kursi berjejer rapi melingkarinya serta cerita orang-orang yang melekat di kupingnya. Dengar-dengar, lantai gedung itu terbuat dari pualam, disempurnakan oleh lampu yang berkilau bak kristal bergantung mesra di langit-langitnya.

“Memangnya, apa yang bisa saya dapatkan selain dansa, mabuk, juga rasa iri dengki melihat para sosialita berlomba-lomba memamerkan kekayaannya?” sungut Aryo.

Jalanan hari Rabu masih dipadati manusia hilir mudik hendak memenuhi kebutuhan hidup. Sekali dua kali, Aryo menangkap tatapan asing yang ditujukan kepada dirinya dan Janson yang masih dibalut seragam dinas dengan pangkat letnan. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya saja.

Mendapati raut serius di wajah Aryo, tawa Janson meledak, “Dames[1], Aryo! Dames!” sahutnya, melayangkan satu pukulan di bahu Aryo, “bicara-bicara, kau ingin tahu sesuatu?”

“Lebih baik tidak jika kau hanya ingin membuat saya mati penasaran.”

“Oh, kom op[2]! Saya tidak akan membuatmu kesal hari ini,” ujar Janson, “ada kisah unik di balik mewahnya gedung Harmonie itu.”

“Ceritakan saja. Jangan membuat teka-teki.”

Klaar[3],” Janson mengusap keringat yang menjalari pelipisnya, “di hari gedung itu diresmikan sekitar Januari 1815 lalu, Meneer[4] Raffles membuang kunci pintu gedung ke Tjiliwoeng, yang memiliki makna Harmonie tidak akan pernah tutup.”

“Lalu?”

“Dan voila, Aryo! Hal itu benar-benar manjur!”

Aryo manggut-manggut. Bukan berniat cuek, hanya saja ia kehabisan kata untuk menanggapi ocehan sahabatnya itu. Tidak heran orang-orang sekitar hujan tanda tanya menonton keakraban keduanya. Bagaimana tidak? Selain memiliki latar belakang yang kontras, sifat mereka juga sangat bertolak belakang.

Di sisi barat Societeit Harmonie, berbaris pertokoan mulai dari koperasi—ah ralat, toko serba ada—Eigen Hulp yang menjual peralatan rumah tangga sampai pakan kuda, jasa studio foto, hingga di paling ujung ada Oger Freres, penjahit ternama yang menawarkan busana dengan model terbaru dari Paris. Usai kekuasaan Perancis yang berakhir pada 1812 silam, memang banyak warga Perancis yang menetap di Batavia, khususnya di Risjwijk Straat[5]. Sampai-sampai, daerah tersebut dijuluki Frans buurt[6].

Wat wil je?[7]” tanya Janson, sedang pemuda berkemeja biru di sampingnya menggaruk puncak kepala bingung sebelum akhirnya melangkahkan kaki menjauh, yang buru-buru disusul Janson, “hei, Aryo!”

“Saya ingin lihat-lihat sesuatu. Kau ke Molenvliet saja dulu. Nanti saya ke sana.”

Janson hanya mengiyakan.

Molenvliet yang memiliki makna aliran kincir bukan sekadar nama sebuah kanal yang memisahkan Risjwijk dan Noordwijk, namun juga menjadi penghubung antara Oud Batavia[8] dan Weltevreden. Selain mencegah banjir, kanal Molenvliet juga menjadi sarana transportasi angkutan material bahan bangunan serta kebutuhan sehari-hari, seperti hasil pertanian juga hasil perkebunan.

Dari Molenvliet, indra penglihatan Janson dengan mudah menangkap potret deretan bangunan tinggi yang elok. Mulai dari Societeit Harmonie, Postspaarbank yang pelatarannya selalu macet tersebab menjadi pusat lalu lalang trem uap, hingga Hotel des Indes di ujung Rijswijk yang pesonanya tidak pernah luntur. Penginapan itu selalu digemari pelancong, terutama karena makanan risttafelnya yang termahyur, yang sudah serupa makanan pokok bagi kaum sejuta gulden. Kemudian Noordwijk di seberang tidak kalah bercahayanya. Sesak dengan rumah serta vila mewah kepunyaan para burjois[9].

Sempurna. Istimewa. Walau semua sama seperti minggu-minggu sebelumnya.

“Kau terpikat juga?”

Satu suara membuyarkan lamunan Janson.

“Tidak salah kau menyebut tempat ini sebagai surga dunia,” balas lelaki dua puluh tahun itu, setengah mengalihkan tatapan kepada bayangan dirinya yang tak hilang diterjang alir Tjiliwoeng.

Aryo tergelak, “Rijswijk dan Noordwijk serupa surga sebab Glodok adalah nerakanya, Janson.”

Lelaki berkulit sawo matang itu enggan lagi mengungkit-ungkit wilayah pecinan di daerah selatan yang menjelma kandangnya—sungguh, tidak layak lagi disebut hunian. Deretan ruko dan rumah kumuh yang tidak sehat, belum lagi bau saluran pembuangan yang menguar ke setiap penjuru ditambah minimnya penerangan karena lampu jalan yang rusak. Orang meludah dan merokok di sembarang tempat menjadi sebuah kelaziman.

“Bicara-bicara, tadi kau beli apa?” tanya Janson.

Aryo mengeluarkan sebuah kalung dari kantung celananya, “Saya membeli ini.”

“Untuk saya?”

Aryo tertawa, “Tentu saja bukan.”

Dilihat dari desainnya, Janson seribu persen yakin kalung bertuliskan ‘JA’ itu dibeli Aryo dengan harga tidak murah dari toko Van Arcken yang memang ahli dalam segala hal yang berhubungan dengan emas, perak, dan permata. Bukan kaleng-kaleng, toko yang dibuka sejak 1861 itu sampai dijuluki Tiffany from the East dan memiliki pelanggan dari kalangan atas, seperti gubernur jenderal juga keluarga keraton.

“Lantas untuk siapa?”

Sebilah senyum terbit di wajah Aryo, “Untuk persahabatan saya dan kamu.”

Janson masih belum selesai dengan pikirannya kala Aryo dengan ringan melempar kalung itu ke dalam Tjiliwoeng yang membuat lelaki itu kebingungan.

“Kau masih belum mengerti juga, Janson?”

Janson menggeleng.

Meneer Raffles membuang kunci Harmonie dengan harapan gedung itu akan terbuka selamanya. Dan saya …,” Aryo menarik nafas dalam, “saya membuang kalung dengan ukiran JA yang merupakan gabungan nama saya dan kamu dengan harapan persahabatan kita akan terjalin selamanya.”

Desir angin disusul suara trem uap mengisi jeda keheningan yang cukup lama.

“Bahkan ketika saya sudah tiada nanti,” lanjut Aryo setengah tersenyum, menarik lara yang sempat terukir di wajahnya dan membuat ribuan peluru bak menghujam ulu hati Janson seketika.

Bukan.

Dari awal, tujuan mereka berkunjung ke Weltevreden memang bukan untuk berlibur atau memerdekakan diri dari segala penat.

“Kau tahu, Janson. Sebelum hari itu tiba, saya ingin mengunjungi Weltevreden. Saya ingin melihat surga dunia untuk terakhir kali, sebelum saya melihat surga yang sesungguhnya.”

Air mata yang sedari tadi ditahan Janson luruh. Ditatapnya manik sahabatnya itu dalam, mencoba menemukan harapan di mana Aryo akan mengajukan keringanan hukuman kemudian membebaskan diri dari segala tuduhan pencurian yang ditujukan kepadanya.

Tetapi, nihil.

Yang ditemui Janson justru sebaliknya. Yang ditemui Janson justru perasaan ikhlas. Entah sebab Aryo akan menemui Yang Maha Kuasa—dan tak lagi mengemban beban dunia—, atau sebab orang yang akan membunyikan bel berukir soli deo gloria di atap Stadhuisplein untuknya esok hari adalah sahabatnya sendiri.

Dank u zeer[10], Janson, untuk semua hari baiknya. Mungkin saya tidak pernah mengucapkan ini sebelumnya, tetapi saya ingin kamu tahu kalau saya sungguh merasa beruntung memiliki sahabat seperti kamu.”

*

Batavia, 3 Juli 1895

 

Hei, Janson!

Kau tidak perlu bertanya-tanya siapa penulis surat ini. Kau tentu tahu bukan? Haha. Yang kau tidak tahu itu kalau saya harus bersusah payah meminjam mesin ketik hanya demi selembar surat ini, tahu?

Mungkin surat ini akan sedikit panjang. Yang jelas, saya ingin bilang, saya tidak pernah menyesali hari itu, hari di mana kita bertemu untuk pertama kali di kedai kopi daerah Noordwijk. Ah, sepertinya sih, itu bukan pertama karena saya pernah melihat kau sebelumnya. Lebih tepatnya, itu kali pertama kita berbicara ya?

Usai kau dengan seenak jidat meminjam pemantik milik saya. Kemudian kita justru jadi berbincang perkara kemerdekaan. Kemudian kau berkata satu dua kalimat yang tak akan pernah lepas dari ingatan saya.

“Tidak banyak yang suka peperangan. Saya juga tidak suka, namun, saya tidak bisa menolak ketika negara membutuhkan saya di medan perang.”

Banyak orang berkata persahabatan seperti apa yang kita punya mustahil terjadi. Tetapi, hebatnya, kita berhasil membuktikan kepada mereka kalau tiada hal yang mustahil di dunia ini.

Bicara-bicara, ya sudah seperti itu saja. Saya bingung ingin bicara apa lagi. Sekali lagi, terima kasih untuk satu hari di Weltevreden yang mengesankan! Jangan terlalu dipikirkan apa yang tadi saya ucapkan. Saya senang, sebab orang yang membunyikan lonceng kematian di Stadhuisplein untuk saya besok adalah sahabat saya sendiri, bukan orang lain.

Semoga kau selalu bahagia. Saya senantiasa mendoakanmu untuk itu.

Tertanda,

Aryo

Sesabit senyum terulas di bibir Janson, walau ini sudah entah kali keberapa dirinya membaca surat itu. Tidak ada kata yang mampu mendefinisikan apa yang dirasakannya saat ini. Yang jelas, yang selalu dirapalnya hanya satu.

“Terima kasih, Aryo.”

*

[1] Para wanita

[2] Ayolah

[3] Siap

[4] Tuan

[5] Jalan Risjwijk

[6] Lingkungan Perancis

[7] Kamu mau apa?

[8] Batavia Lama

[9] Masyarakat golongan menengah ke atas

[10] Terima kasih banyak

 

*sumber foto: Pinterest

error: Content is protected !!