Sapuan angin sore lembut terasa olehnya. Sinaran matahari yang menembus pepohonan di kala senja begitu memikat hatinya. Suara lembut deburan ombak selalu menenangkan jiwanya. Sesekali matanya terpejam menikmati riuh kicauan burung yang beterbangan. Perempuan itu duduk di bangku kayu dengan baju putih kebanggaannya sembari tersenyum menatap lurus pemandangan yang ada dihadapannya. Sebuah kapal bersandar tak jauh dari tempat perempuan itu duduk. Puluhan orang berbaris mengantre untuk dapat naik ke kapal itu. Beberapa diantaranya masih menyibukkan diri dengan melakukan swafoto dengan latar belakang matahari di batasan horizon.
“Tiga puluh satu, tiga puluh dua,” perempuan itu menghitung jumlah orang yang menaiki kapal ketika satu per satu dari mereka menyerahkan karcis kepada petugas kapal.
Tiga puluh dua orang penumpang, jauh lebih sedikit dari hari kemarin. Kemarin perempuan itu menghitung setidaknya ada lima puluh orang yang berbaris. Perempuan itu mengingat-ingat bahwa hari itu memang bukan hari libur. Setiap sore, perempuan itu akan selalu duduk di bangku kayu untuk menghitung mereka yang pergi dari Pulau Onrust.
“Mijn dochter, kom hier.”[1]
Anna berjalan mendekati Ayahnya.
“Besok pagi, pergilah ke Batavia. Bawalah bingkisan ini dengan hati-hati kepada Tuan Cornelis Wertheim dan sampaikan salam dari Ayah.”
Anna memandangi sebuah kotak persegi panjang yang telah dibungkus dengan kain berwarna hijau dengan tambahan aksen pita berwarna emas. Bingkisan itu sangat ringan. Tidak biasanya Ayahnya menyuruh Anna untuk mengirim barang. Anna menduga barang didalamnya begitu penting hingga Ayahnya tidak mempercayakan seorang kurir untuk mengantarnya.
Pagi-pagi sekali Anna sudah siap di tepian pantai. Anna tampak begitu cantik dengan gaun warna merah muda yang panjangnya semata kaki dan topi tali bermotifkan bunga. Kapalnya telah menunggu untuk mengantar perempuan yang merupakan putri tunggal Tuan Bangsawan Pulau Onrust menuju Batavia.
Berkali-kali angin laut mencoba menerbangkan topinya. Anna bukannya tak tahu resiko itu, hanya saja dia begitu menyukai topi yang merupakan warisan dari Ibunya. Anna tahu perjalanan ke Batavia tidaklah sebentar, namun dia rela menahan topi dari terpaan angin dengan tangannya.
Siang itu Batavia terlihat begitu sibuk. Orang-orang berlalu-lalang hingga saling berdesakan membuat Anna mendekap erat bingkisan hijau yang dipercayakan kepadanya.
“Ke sini Nona Muda. Berjalanlah di sisi sini,” ucap Sastro, seorang pribumi setengah baya yang dipercaya Ayah Anna untuk mengawal putrinya hingga sampai ke tujuan.
“Maria! kom hier!”
Anna berhenti sejenak untuk mencari sumber suara itu. Seorang pria muda dengan setelan jas berwarna hitam mengulurkan tangannya kepada seorang wanita muda. Sang wanita berjalan dengan anggun menyambut uluran tangan pria muda dihadapannya. Wanita muda itu terlihat lebih tua beberapa tahun dari Anna. Wanita yang dipanggil Maria itu sangat cantik. Kulitannya putih sama seperti Anna, rambutnya yang berwarna pirang dikepang dua dan memakai gaun berwarna monokrom tampak senada dengan pakaian pria yang memanggil namanya. Senyum wanita itu juga sungguh menawan, begitu pula dengan senyum pria itu.
“Mereka pasangan yang serasi,” ucap Anna lirih.
“Bagaimana Nona?” tanya Sastro yang tidak menangkap jelas maksud majikannya.
Pertanyaan Sastro seolah menyadarkan Anna akan tujuan awalnya ke kota ini.
“Ah tidak, ayo kita pergi,” ujar Anna mengalihkan pandangannya dan cepat-cepat melangkahkan kakinya.
Rumah Tuan Cornelis Wertheim tidak di daerah pinggiran. Anna dan pengawalnya harus melewati belasan rumah dan toko-toko sebelum akhirnya Sastro menghentikan kakinya dihadapan sebuah rumah besar bercat putih dengan aneka bunga warna-warni bergelantungan yang menghiasi bagian depan rumah. Itulah rumah Tuan Cornelis Wertheim yang dikenal sebagai Bangsawan Belanda Kota Batavia. Seketika Anna menyukai desain rumah kawan Ayahnya itu. Andai Ibunya masih ada, rumah Anna pun akan sama asrinya dengan hiasan aneka bunga-bunga tropis.
“Ehm, ehm.. Goedemorgen Meneer Cornelis Wertheim[2]. Nona Johanna Kalf dari Pulau Onrust telah datang,” suara Sastro dibuat sedemikan lantang seolah mengumumkan berita penting.
Seorang pria seumuran dengan Ayah Anna dengan kumis melintang keluar dari pintu depan. Pria itu keluar dengan tangannya yang berkacak pinggang. Matanya yang berwarna biru menatap tajam ke arah Sastro dan kemudian beralih pandang menatap Anna. Seketika mata bangsawan itu berubah ramah dan menurunkan tangannya dari pinggang. Tuan Cornelis menuruni tangga depan rumahnya dengan tangan merentang menyambut Anna. Tingkah Tuan Cornelis membuat Anna menurunkan pandangan matanya sembari membungkukkan badan sebagai tanda salam.
“Johanna Kalf. Putri Tuan Rudolf Klerk. Kamu secantik Ibumu. Bagaimana kabarmu dan Ayahmu?” tanya Tuan Cornelis dengan memegang kedua lengan Anna.
“Saya dan Ayah baik-baik saja Tuan Cornelis. Tujuan saya ke sini hendak mengantarkan bingkisan ini,” Anna memberikan bingkisan hijau dengan kedua tangannya.
“Serta salam dari Ayah saya,” lanjut Anna.
Tuan Cornelis mengamati bingkisan itu dan sebuah senyum tersungging dibibirnya.
“Baiklah Johanna, saya terima pemberian dari Ayahmu. Sampaikan rasa terima kasih dari saya serta salam saya untuknya,” ucap Tuan Cornelis.
“Wacht even hier,” [3]ungkap Tuan Cornelis menambahkan.
Tuan Cornelis masuk kembali ke dalam rumahnya. Anna dan pengawalnya menunggu dalam diam. Tak seberapa lama Tuan Cornelis kembali menemui Anna bersama dengan seorang pemuda yang tampak sebaya dengan Anna.
Seorang lelaki tampan bermata biru seperti mata Tuan Cornelis, berkulit putih seperti halnya Anna dan ada sedikit rona merah dipipinya. Pria muda itu tersenyum padanya dan memperlihatkan kedua lesung pipitnya. Tiba-tiba sensasi aneh menjalar di sekujur tubuh Anna. Tubuh Anna membeku. Anna tidak tahu apakah dia sedang membalas senyum pria muda itu atau malah memperlihatkan ketegangannya.
“Johanna, putraku Antonio Wertheim akan mengantarkanmu pulang.”
Anna hanya menggangguk tanpa suara.
Senja kembali datang. Anna kembali duduk dibangku kesayangannya. Sepasang pria dan wanita duduk tak jauh dari tempatnya. Seorang pria dan wanita yang berwajah khas Indonesia tidak seperti Anna yang berkebangsaan Belanda. Anna tahu mereka sengaja memisahkan diri dari rombongan. Sang pria rupanya ingin berbicara hanya empat mata dengan kekasihnya tanpa ingin terganggu dengan kawan-kawannya yang lain. Anna mengamati pasangan itu.
“Sandra, sudah hampir setahun kita bersama,” ucap pria itu membuka obrolan.
“Aku rasa kita tak perlu berlama-lama,” sambung pria itu.
Wanita yang bernama Sandra memandang kekasihnya dengan lembut. Tampak sekali sang pria itu gugup untuk melanjutkan kalimatnya.
“San.. emm, San..”
Digenggamnya tangan kekasihnya itu dengan erat.
“Maukah kau menikah denganku?” tanya pria itu dengan cepat.
Sandra tak mampu menutupi keterkejutannya.
Anna melihat kekasih Sandra begitu tulus. Siratan mata pria itu menunjukkan kesungguhan. Kilat mata yang mengingatkan Anna pada Antonio.
Anna berbisik lirih, “jawablah iya.”
Sandra merasa suasana senja di Pulau Onrust begitu romantis ditambah kekasihnya melamar tepat di hari ulang tahunnya. Hari itu begitu sempurna bagi Sandra. Angin lembut menyentuh telinga Sandra. Dia seakan mendengar suara hatinya berkata jawablah iya.
“Iya, aku mau.”
Anna tersenyum memandang keduanya saling berpelukan. Anna teringat masa ketika Antonio mengajaknya duduk berdua di bangku kayu dalam suasana senja. Di saat itulah Antonio menanyakan kesediaan Anna menjadi istrinya. Ayah Anna mengadakan pesta besar-besaran di hari pernikahan Anna dan Antonio hingga Pulau Onrust seakan bercahaya dari kejauhan.
Anna menikmati hari-harinya menjalani peran sebagai seorang istri. Antonio begitu mencintainya dan Anna begitu mengagumi suaminya. Hingga suatu hari Anna terserang penyakit misterius yang tidak kunjung sembuh meski dokter sudah memberikan resep terbaiknya. Antonio begitu setia mendampingi Anna hingga kematian tak bisa dihindarkan. Antonio menangisi kepergian Anna yang begitu cepat di usia yang masih begitu muda.
Duka mendalam yang dirasakan Antonio memaksanya untuk meninggalkan Pulau Onrust di suatu senja dan dia tak pernah kembali lagi. Anna tidak marah kepada suaminya. Anna begitu mencintai Antonio. Ingin sekali Anna selalu berada disamping Antonio untuk melindunginya, hanya saja Anna tak bisa meninggalkan kepingan raganya di Pulau Onrust.
Kini sudah hampir 300 tahun Anna tetap setia berada di Pulau Onrust. Meski orang-orang lebih tertarik dengan kisah lalu Maria Van de Velde, Johanna Kalf akan selalu ada di sana untuk menatap senja dari bangku kayu dengan baju putih dan topi tali kesayangannya. Hari-harinya dia lalui dengan menghitung jumlah orang-orang yang pergi dari Pulau Onrust di kala senja.
Catatan :
- Cerita ini terinspirasi dari makam Johanna Kalf yang berada di Pulau Onrust. Tokoh-tokoh pendukung dan seluruh kejadian hanya rekaan semata, kecuali infomasi yang menyebutkan bahwa Johanna Kalf meninggal di usia muda sesuai dengan yang tertera di nisan
- Sumber gambar : coeur-d-alene-lake.jpg (550×410) (tripadvisor.com)
[1] Putriku, kemarilah
[2] Selamat pagi Tuan Cornelis Wertheim
[3] Tunggulah sebentar di sini