Senin, 17 Januari 1921, berita kematian seorang perempuan di sebuah gudang perkebunan teh daerah Braga di Bandung menjadi topik hangat minggu ini. Mendadak aku tak berselera minum teh. Masalahnya, korban ditemukan sangat mengenaskan dengan mulut terikat, luka sayat dan kehilangan kuku jari tangan. Berlumuran darah. Banyak pertanyaan dibenakku, bagaimana bisa terjadi pembunuhan di sebuah gudang penyimpanan ?, bukankah seharusnya sebuah gudang penyimpanan memiliki penjagaan ?.
“Pieter!” seseorang rekan memanggil hingga aku tertegun. “Akan datang beberapa material sore ini, bersiaplah! Mungkin kita akan pulang dini hari.” Lanjutnya sambil menggaruk kepala.
Belum genap sebulan aku dipindahkan ke proyek gedung GB. Belakangan ini banyak fasilitas yang sedang dibangun di Bandung. Selain gedung GB, Stasiun Kereta Api Bandung tempat ku bekerja sebelumnya juga sedang menjalani perubahan bentuk dan jalur untuk memudahkan pengiriman kebutuhan sehari-hari seperti beras, elektronik dan lain-lain. Setelah pemindahan ku kemari, aku semakin banyak bertemu arsitek-arsitek muda, Hanson dan Ryker adalah kawan terdekat ku.
***
“Kita cukup mempunyai waktu untuk bersenang-senang malam ini” ucap Ryker memecah keheningan. “Bagaimana dengan makan malam di Maison Bogerijen ? ide bagus bukan ?”.
Aku, Hanson dan Ryker pun pergi ke Maison Bogerijen pada malam sabtu. Sebuah restoran terkenal di daerah Braga, tempat bertemu dan berkumpulnya orang-orang Belanda. Jaraknya dekat dari gedung GB ditambah lagi kue kering dan rotinya yang lezat.
Ini bukan kali pertama aku menginjakan kaki di Hindia-Belanda, tapi mataku tak bosan melihat suasana kota ini. Seketika pandangan ku terhenti pada anak kecil yang menyemir sepatu seorang Tuan. Batinku sedikit tertawa. Adakah orang yang memperhatikan sepatu mu di malam hari begini ?. Kami bertiga berbincang banyak hal, tak terkecuali berita kematian seorang perempuan di gudang perkebunan teh Braga itu.
“Kasihan sekali anak itu. Tahukah kalian, perempuan yang mati di gudang teh itu adalah kakaknya, seorang pekerja gudang.” kata Ryker sambil melihat bocah penyemir sepatu. “Kudengar Polisi masih berusaha mengumpulkan bukti dan saksi mengenai kasus tersebut. Pelakunya terlalu pandai, hmm aku tak tau dia manusia atau seekor binatang buas, hingga polisi belum menemukan keberadaannya.” Ryker prihatin.
“Beberapa koran juga mulai membahas kematian noni di sebuah hotel 6 bulan lalu dan mengaitkannya dengan kasus baru ini. Tak banyak informasi terperinci, mungkin ada pihak yang tak ingin dirugikan karena kasus itu dan lebih memilih untuk menutupinya”, timpa ku.
“Maksudnya ?” Ryker kebingungan.
“Siapa pula yang ingin menginap di Hotel bekas terjadi pembunuhan”, kata Hanson sambil menyalakan rokok.
“Bagaimana kau tau itu kasus pembunuhan?”
Hanson menghembuskan asap dengan tenang setelah menghirup pipa rokoknya yang khas terbuat dari kayu cendana. “Bila mereka sampai mengkaitkan dua kasus, bukankah artinya kasus tersebut memiliki kesamaan?” tiba-tiba ia tersenyum kearah jam dua belas. Aku dan Ryker spontan menoleh kearah yang sama, dalam waktu singkat lalu berbalik lagi.
“Baiklah, kau menggoda wanita lagi. Bukankah kau punya kekasih? Tak bisakah kau lepaskan wanita lain untuk ku dan Ryker?” kata ku sambil berguyon.
“Kawan, Hanson tak pernah menggoda wanita. Mereka datang dengan sendirinya,” Hanson tersenyum membanggakan dirinya.
“Hentikan bualanmu itu. Tahu kah kau Pieter, dua bulan lalu dia salah memanggil gadis yang ditemuinya di alun-alun. Dia beruntung tak ditampar.” dan kami pun tertawa dan melanjutkan perbincangan sambil menikmati makan malam. Sesekali pandangan ku kembali anak penyemir sepatu di depan restoran itu. Aku tak sering melihat anak itu, bahkan aku tak mengenalnya. Karena musibah yang menimpanya itu seketika aku berpikir, betapa dekatnya kematian dengan kita.
“Lama tak bertemu, Pieter” sapa seorang noni yang tiba-tiba sudah berdiri disebelahku.
“Esmee !, bagaimana bisa?”
“Kakak ditugaskan ke Bandung, Pieter. Aku mengunjunginya sepekan terakhir, tapi aku kemari bersama temanku. Aku memperhatikan mu sedari tadi tapi kau terlihat cukup sibuk, jadi ku putuskan untuk menghampiri mu. Senang bisa bertemu lagi ”
“Ohh, duduklah Esmee.” Reaksi ku sungguh lamban karena masih tak percaya. “Perkenalkan ini teman-teman ku, Hanson dan Ryker. Kami bekerja untuk GB. Kawan-kawan, ini Esmee, saudara kembar sahabatku dulu di Netherland. Jadi bagaimana kabarmu dan keluarga ?” Tiba-tiba aku menjadi sumringah setelah kedatangan Esmee. Dia saudara kembar Noah, sahabat ku sedari kecil dan keluarga kami amat sangat dekat. Aku menyayangi mereka bagai saudara ku sendiri. Bergabungnya Esmee dalam perbincangan malam sangat menghidupkan suasana. Kami membahas banyak hal, mulai dari kabar Noah, tentang Bandung serta aku dan kawan-kawan ku. Esmee tak pernah berubah, sikap polos dan ramahnya selalu menenangkan hati siapapun lawan bicaranya, dan aku juga tak sabar untuk segera bertemu Noah. Lelah hari ini benar-benar terbayarkan oleh pertemuan ku dan Esmee.
Hari sudah semakin malam sehingga Esmee memutuskan untuk kembali pulang ke rumah temannya dengan pengawalan ku. Sesampai di depan restoran, Hanson mengucapkan salam perpisahan.
“Nona Esmee, senang bisa mengenalmu. Aku harap kau takkan bosan berkunjung ke Braga” tutur Hanson dengan lembut.
Ryker melirikku sembari Hanson meraih tangan Esmee, mengelus lembut dan mencium tangannya. Ryker pun spontan memukul lenganku.
“Tidakkah itu terlalu lama, Pieter ?. Hans ayolah!” rajuk Ryker tak tahan
Kami bertiga pun berpisah di depan restoran dengan tujuan masing-masing.
***
Sebagai sesama arsitek kami memiliki beberapa kenalan di proyek yang bebeda tentunya. Terkadang aku kembali ke Stasiun Kereta untuk sekedar menyapa teman-teman lama, berbincang tentang perkembangan proyek dan mendapat info-info terbaru pengenai perkembangan dunia arsitektur. Begitu pula yang lain, mereka memiliki agenda liburan masing-masing. Hari ini giliran Hanson yang mengambil libur menjadikan waktuku lebih banyak bersama Ryker. Tiga minggu setelah makan malam kami di Maison Bogerijen, Ryker mengejutkan ku saat istirahat siang:
“Pieter ini benar-benar sulit dipercaya!”. Aku mendekati tempat duduknya. “Hanson benar!, mayat noni yang ditemuka di hotel itu merupakan sebuah tragedi pembunuhan. Polisi memprediksi kejahatan ini dilakukan oleh pelaku yang sama dengan pelaku pembunuhan di gudang perkebunan teh. Mulut korban diikat dengan tali, lehernya habis terjerat. Ditambah lagi….”, Ryker terjeda, menghela napas dan menurunkan lengannya yang mulanya tegak memegang koran. “kedua tangan wanita ini ditemukan terpisah dari badannya, mereka menemukannya di toilet kamar hotel, tanpa kuku”.
“Ini benar-benar gila!” mata ku terbelalak membaca koran yang sebelumnya Ia pegang. Aku berharap ada foto yang disematkan pada berita itu. Namun, aku terlaihkan oleh Ryker yang terlihat begitu bingung, ragu bercampur gugup. Air mukanya berubah dan tatapan nya tak lagi berfokus. Mengapa dia bereaksi berlebihan gumamku dalam hati. “Apa yang terjadi padamu ?! Kau berlagak seperti korban selanjutnya”. Jujur saja berita-berita ini membuatku resah, merasa Bandung tak seaman biasanya. Bagiku, manusia tak memiliki hak atas kematian manusia lain. Pembunuhan ini amatlah keji, pelakunya tak pantas disebut manusia.
Belum lega perasaanku, tiba-tiba empat orang Polisi dan seorang laki-laki berewok yang wajahnya merah merana dan nelangsa berjalan cepat ke arah ku dan meraih kerah bajuku. Itu Noah!.
“Katakan Pieter itu bukan kau!!” ucapnya sambil menangis pilu. “Pieter!”
“Aa..aa” aku terbata-bata, aku tak tahu apapun dan tak siap mendengar apapun. Aku sungguh tak siap. Noah menangis memelukku. Air matanya benar-benar tak terbendung. Aku dan Ryker masih belum memahami situasi sampai akhirnya seorang polisi berbicara:
“Tuan Pieter Hendriksen, dan Tuan Ryker Van der Byl kami dari kepolisian diperintahkan untuk membawa kalian sebagai saksi atas kasus kematian Nona Esmee Cornelissen. Berikut surat perintahnya” petugas itu memperlihatkan surat tugasnya.
“Lelucon apa ini ?” tanyaku sambil menahan tangis. Tak ada yang menjawab ku. Ryker terdiam dengan wajah yang semakin frustasi dan Noah yang berlutut dengan muka yang basah dengan air mata. Dadaku sesak. Aku hanya bisa memeluk kembali Noah dan menangis. Kehilangannya dapat ku rasakan. Sakit sekali.
***
“Esmee menulis surat untukku di malam seusai ia bertemu dengan mu, Pieter. Sedikit banyak ia bercerita dimana kalian bertemu dan tempat kau bekerja. Dua hari kemudian temannya mengabari ku bahwa Esmee telah mati dibunuh!” tutur Noah pilu. “Keadaanya sangat mengenaskan, Pieter aku tak terbayang betapa tersiksanya dia menjelang kematiannya. Kenapa harus Esmee?!”
Esmee ditemukan terkapar di rumah keluarga milik mereka dengan bekas pukulan benda tumpul di telinga kirinya. Mulutnya juga disumpal dengan kain. Ia berlumuran darah dan kuku jari tangannya tak ditemukan. Tega sekali, benar-benar binatang!. Melihat polanya, aku yakin dia adalah pembunuh berantai seperti yang diberitakan di koran, semua korbannya ditemukan tanpa kuku. Pembunuh itu telah sampai pada orang terdekatku.
“Temannya yang ikut menjadi saksi saat ini, mengakatan seseorang mampir ke rumahnya mencari Esmee, namun saat itu Esmee sedang tak disana dan orang itu meminta alamat tempat Esmee tinggal. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Pieter” lanjut Noah hingga membuat mataku terbelalak dan amarah ku memuncak.
“Binatang itu berbohong, Noah!” teriakku
“Aku yakin bukan kau pelakunya”
“Nyaris tiga minggu, Noah. Mengapa kau tak memberitahuku lebih awal ?”
“Sangat sulit untuk menerima, Pieter. Aku juga sibuk bertemu dan meminta keterangan saksi-saksi yang lain secara pribadi. Sampai akhirnya berujung pada kalian bertiga. Namun, salah satu kawanmu belum diketahui keberadaanya.”
Kami teralihkan oleh suara langkah kaki, ternyata itu Ryker. “Pieter, aku ingin bicara dengan mu”. Aku meninggalkan Noah, pergi ke sudut ruangan bersama Ryker dan dia terlihat gugup.
“Aku bingung harus memulainya dari mana”
“Apa yang kau sembunyikan, Ryker ? kau biasanya tak seperti ini.”
“Sehari sebelum Hanson pergi, dia sempat ke proyek untuk mengambil beberapa barang. Ia tak sengaja menjatuhkan plastik klip berisi…” Ryker menahan dirinya,
“Kawan, kau sungguh membuatku bingung”
“Kuku… Aku yakin itu kuku, di dalamnya terdapat label nama. Aku tak mengingatnya dengan jelas, tapi nama itu bukan nama orang Belanda.”
“Jadi maksudmu, kau mencurigai Hanson terlibat dalam semua insiden pembunuhan ini ?”. Aku masih melihat Ryker meragu. “Kau memberitahu petugas saat diinterogasi tadi ?”
“Ya” jawab Ryker
“Kawan, dengarkan aku. Bukannya aku tak percaya, dalam situasi seperti ini alangkah baiknya kita jangan gegabah. Kita tak punya bukti yang kuat, mereka mencurigai kita sebagai pembunuhnya. Terutama aku! Orang tak waras itu menggunakan namaku!” dan aku pergi meninggalkan Ryker begitu saja
***
Empat hari setelah kesaksian kami di kantor Polisi, Noah kembali datang ke GB. Kali ini dengan air muka yang lebih tenang namun matanya berapi-api. “Noah, aku harap kau merasa lebih baik.” kataku berusaha menghibur.
“Mereka mendapatkan pembunuhnya, Pieter. Orang yang telah menggunakan namamu, dia cukup ceroboh kali ini. Kau dan Ryker ikut aku ke kantor Polisi sekarang, aku ingin memberi binatang itu pelajaran!”
Sesampainya di kantor Polisi, betapa terperangah nya aku melihat Hanson dengan borgol ditangannya. Sontak Noah menarik kerah baju psikopat itu, memaki dan nyaris memukulnya. Noah benar-benar menggila, semua amarah, kesal, sedih dan kecewa ia luapkan pada Hanson. Aku dan Ryker berusaha keras menahannya. Dengan perasaan pilu aku teringat kembali bagaimana Hanson mencium tangan Esmee, bagaimana dia mengelus tangan Esmee. Saat itu aku sadar dia telah menginginkan Esmee sejak pertemuan malam itu. Air mataku tak terbendung dan masih berusaha menahan Noah yang murka.
“Teman nona Esmee yang didatangi oleh pelaku merupakan saksi kuncinya, Tuan Cornelissen. Pada malam saat Tuan Pieter mengantar Nona Esmee ke rumah temannya, pria ini membuntuti mereka. Keesokan harinya, pria ini kembali dan meminta alamat nona Esmee dengan menggunakan nama Pieter sebagai identitasnya. Saksi melihat laki-laki yang itu memasukan pipa rokoknya, pipa itu berbau cendana. Dari sekian banyak orang yang memiliki hubungan dengan Tuan Pieter hanya dia seorang yang memiliki pipa rokok dengan kayu cendana. Ditambah lagi, kami menemukan koleksi kuku dari korban pembunuhan kasus-kasus sebelumnya.” Jelas seorang petugas Polisi.
“Apa yang Tuan maksud, pria ini telah…” aku mulai mendapatkan kesimpulan
“Benar Tuan, orang inilah yang merupakan dalang dari pembunuhan wanita di hotel dan di gudang perkebunan teh Braga. Dia memiliki ketertarikan akan kuku-kuku korbannya”.
Apa yang Ryker lihat adalah kebenaran. Semua benar. Kuku, pipa rokok. Dasar iblis!.
“Hukum binatang itu seadil-adilnya!! Untuk saudaraku dan semua perempuan yang tak bedosa!!” pekik Noah yang masih dirundung duka.
Dan Hanson hanya tersenyum.
-The End-
Image Source : https://www.businessinsider.com/signs-you-are-working-with-a-psychopath-2017-6?r=US&IR=T#theyre-glib-and-constantly-turn-on-the-superficial-charm-2