1 Juli 1915
Hoogere Burgerschool te Bandoeng atau HBS Bandoeng, sekolah menengah khusus pemuda pemudi Belanda dan bangsawan pribumi, pun resmi beroperasi. Sejak pagi, berbagai dekorasi dan karangan bunga yang cantik telah memenuhi pekarangan sekolah. Dr. Moresco, Direktur pendidikan dan agama membuka upacara peresmian dengan wajah sumringah. Pidato sambutannya yang berapi-api telah membuat semangat para murid dan guru HBS Bandoeng itu terbakar. Sekolah yang berlokasi di Billitonstraat tersebut memang merupakan salah satu institusi pendidikan yang dibangun untuk menyambut rencana besar Bandoeng sebagai calon ibukota Hindia Belanda.
Bangunan HBS Bandoeng sendiri dirancang dengan apik oleh Schoemaker, arsitek yang namanya semakin hari semakin tenar di kalangan para pejabat kota Hindia Belanda. Meneer Bertus Coops, Ketua Dewan Kota Bandoeng tertangkap basah sedang tersenyum puas. Ia memandang gedung sekolah dua lantai dengan desain daun-daun jendela yang besar itu dengan wajah sumringah.
“Erg Mooi!” pujinya terhadap karya Schoemaker tersebut.
Juliana, salah seorang murid yang diterima bersekolah di HBS Bandoeng, sibuk memperhatikan jas Meneer Bertus Coops yang terlihat kinclong. Sejak pagi ia sudah mengkhawatirkan penampilannya. Ia sudah bolak balik berkaca untuk memastikan seragam putihnya sesuai dengan standar HBS Bandoeng. Namun jas Ketua Dewan Kota yang terlihat sangat licin dan menawan itu membuatnya cemas. Ia lagi-lagi melirik ke roknya yang terlihat sedikit mengerut. Entah apa yang salah dengan rok tersebut. Padahal para babu di rumahnya telah berulang kali menyetrika rok berwarna putih itu. Juliana mulai curiga jika Meneer Bertus memiliki setrika baru yang diimpornya dari Belanda. Aku harus merayu sang ayah untuk bertanya pada Meneer Bertus tentang rahasia di balik kelicinan pakaiannya, gumam Juliana pelan.
“Hei, bisa minggir sedikit? Kau menghalangi jalanku!”
Juliana tersentak.
Ia melihat ke kiri dan kanan. Kemana para siswi lain? Kenapa hanya dirinya yang tersisa, batin gadis itu panik.
Juliana pun spontan menggenggam tangan pelajar pria yang baru saja menghardiknya.
“Kalian mau kemana?”
“Kau tidak dengar? Kita disuruh ke gedung utama,” jawab pemuda itu ketus.
Juliana terdiam. Ia sama sekali tidak mendengar perintah tersebut. “Eh, eh, aku ikut kamu kalau gitu,” serunya tidak tahu malu.
Pemuda itu terlihat risih. Namun ia merasa iba juga dengan Juliana yang terpisah dari rombongan para siswi.
“Ya sudah cepat, jangan sampai ketahuan para leraar, bisa dihukum kamu di hari pertama sekolah,” bisiknya pelan.
Juliana mengangguk. Membaur dengan kerumunan adalah salah satu keahliannya.
Ia cepat-cepat menunduk, menyamakan tinggi badannya dengan siswa-siswa lain yang pakaiannya masih kebesaran.
Gadis itu mengikuti langkah rombongan para siswa yang naik ke lantai dua. Ia terpesona melihat pilar cantik yang menyokong konstruksi bangunan sekolah HBS Bandoeng.
“Heh, sudah bengongnya. Barisan siswi di sana, ayo pergi sebelum para leraar memperhatikanmu.”
Juliana melirik ke barisan yang ada di ujung kiri aula.
“Dank Je!” senyumnya manis.
Gadis itu menyorongkan tangan. “Juliana!” ujarnya memperkenalkan diri.
“Joost.”
***
Bersambung ke episode 2 by Imey Tan