Seorang lelaki berjalan terburu-buru menyeberangi jembatan di kanal Insulinde Park. Sesekali ia merapikan kerah kemejanya. Ia cium pergelangan tangannya seakan memastikan wewangian ditubuhnya masih ada. Di tangan kanannya ia membawa setangkai mawar merah yang terlihat cantik dan segar. Ia tatap  bunga mawar itu sambil tersenyum malu-malu.

“Ik zal komen,”

Ucapan perempuan itu masih terngiang di telinganya. Aku akan datang, begitu ujarnya. Janji pertemuan ini nyaris membuatnya tak bisa tidur tadi malam.

Didalam bayangannya ia mengira sang perempuan sedang duduk menunggunya. Lelaki itu bersegera melewati jembatan menuju sebuah bangku yang berada di bawah pepohonan. Disana tak terlalu ramai. Hanya ada seorang lelaki yang duduk dibangku seberang. Perempuan yang ia tunggu ternyata belum tiba.

Suasana terasa sejuk karena di taman itu cukup banyak pepohonan. Kebanyakan adalah pohon tanaman perdu, palem raja dan beberapa tanaman hias. Tanaman itu diatur sedemikian rupa dan  ditanam dengan jarak cukup jauh satu dengan yang lain sehingga terlihat rapi. Ia tatap arlojinya yang terus berdetak. Sebentar lagi perempuan yang ia tunggu akan datang. Tangannya terasa dingin dan keringatan.

Rudolf, demikianlah nama lelaki itu. Ia duduk menunggu diatas bangku taman hampir beberapa lama. Matanya melihat ketiga arah penjuru, Atjehstraat, Borneostraat, dan Billitonstraat. Tiga jalan utama untuk memasuki Insulinde Park. Matanya melihat-lihat apakah ada sosok yang  ia kenal melewati jalan utama. Sayangnya, senyum yang sedari tadi mengembang dibibirnya mulai menciut perlahan karena sosok yang ia nanti belum juga datang.

Rudolf menatap arlojinya kesekian kali. Mungkinkah perempuan itu datang terlambat atau jangan-jangan ia tak jadi datang? Terbayang lagi senyum manis perempuan itu tadi malam. Rudolf langsung menggelengkan kepalanya. Ah aku yakin ia pasti datang, Rudolf membatin.

Seorang lelaki yang sedari tadi duduk tak jauh darinya tiba-tiba datang menghampiri. Ia mengambil sebuah bungkusan dari kantong bajunya. Ia tampak tak terlalu tua, mungkin hanya berbeda beberapa tahun saja dari Rudolf.

“Kau mau?” ujarnya.

Lelaki itu menyodorkan biskuit dari sebuah bungkusan. Rudolf menggelengkan kepala.

“Tidak, terima kasih,” jawab Rudolf singkat, sementara matanya masih menatap ke jalan utama.

Tak disangka-sangka tiba-tiba lelaki itu tertawa. Rudolf mengernyitkan keningnya. Apa yang lucu?

“Siapa yang kau tunggu? Noni Belanda?” ujarnya.

Wajah Rudolf memerah. Mau tahu saja ia urusanku. Rudolf mulai menampakkan rasa tak suka tapi ia berusaha tak acuh dengan pertanyaan itu.

“Kau orang pribumi? Inlander?” tanya lelaki itu. Rudolf tampak tak tahan dengan lelaki itu.  Apa ia tak lihat bentuk rupaku yang berbeda dari pribumi? Batin Rudolf berujar, meski akhirnya ia jawab juga pertanyaan lelaki asing itu.

“Aku Nederlander. Aku bukan pribumi,” ujar Rudolf dingin.

Wajah lelaki itu berubah. Ada semacam pandangan kasihan dari raut mukanya,

“Aku tahu kau Sinyo. Terlihat dari lagakmu yang sombong.  Kau adalah anak seorang Nyai. Anak seorang gundik. Kau bukan Nederlander. Lagipula  untuk apa kau merasa bangga menjadi Nederlander? Apa karena kau merasa kulitmu lebih putih dan hidungmu lebih mancung sehingga kau patut berlaku sombong? Apa kau pikir karena ibumu menjadi istri seorang Belanda, maka kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan seperti halnya Belanda lainnya?” Lelaki itu bertanya menyelidik dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Rudolf jengah dengan pertanyaan beruntun itu sekaligus bertanya-tanya. Ada apa dengan lelaki ini? Ada masalah apa dengannya? Apa dia sengaja ingin membuatku marah?

Rudolf mencoba memerhatikan lelaki asing yang mengganggunya. Lelaki ini memang tampak tak terlalu tua, tapi ia juga tak semuda Rudolf. Wajahnya adalah wajah khas pribumi dengan kulit sawo matang. Hanya matanya saja yang membuatnya tampak berbeda. Warna mata hazel. Perpaduan coklat muda dan hijau keemasan. Tak ada pribumi yang memiliki mata seperti itu. Tapi yang membuat Rudolf tertarik adalah sorot matanya. Sorot mata itu yang membuat Rudolf mengurungkan niatnya untuk pindah ke tempat duduk lain. Sorot mata yang seakan memendam banyak hal. Rudolf mencoba menahan amarahnya seraya berkata,

“Aku bukan pribumi. Aku Sinyo. Ayahku seorang Belanda,” lanjut Rudolf.

Lelaki itu hanya berdecak. Bukan karena kagum, tapi karena sedang meremehkannya. Rudolf tahu itu. Ia sendiri pun sebenarnya menyadari bahwa ucapannya tadi bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan. Seorang Sinyo? Apa yang bisa dibanggakan dari panggilan itu?

Rudolf memang tampak berbeda dari orang pribumi. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan rambutnya berwarna pirang. Orang-orang yang tak mengenalnya pasti berpikir bahwa ia adalah Nederlander. Hanya matanya yang tidak bisa menipu. Mata Rudolf adalah warisan fisik ibunya.  Mata seorang pribumi. Mata dari seorang Nyai yang dikawini hanya untuk kepentingan tertentu. Kepentingan nafsu. Rudolf tahu itu. Ucapan lelaki itu memang benar adanya meski Rudolf merasa heran kenapa ia bisa tahu bahwa Rudolf bukan orang Belanda asli.

Lelaki asing itu tiba-tiba menyandarkan punggungnya ke bangku kayu. Kaki kirinya disilangkan diatas paha kaki kanannya. Lagaknya macam tuan tanah. Rudolf melihat mata lelaki itu menerawang jauh menatap taman didepan mereka.

Rudolf pun melakukan hal yang sama. Ia memerhatikan sebuah kolam air berbentuk kanal setengah lingkaran di taman itu. Seingatnya kolam air itu dibuat agar menjadi pemandangan indah bagi Panglima Tentara Hindia Belanda yang tinggal diseberangnya yaitu di Gedung Paleis van de Legercommandant. Ia juga melihat ada sekelompok muda-mudi Belanda tengah berjalan-jalan menyeberangi kanal taman. Para lelaki itu terlihat tegap. Rata-rata mereka menggunakan kemeja putih panjang dan topi. Para Noni Belanda yang mendampingi mereka juga terlihat anggun dengan gaun dan topi lebar khas yang biasa mereka pakai jika sedang bepergian. Barangkali mereka adalah sekelompok tentara yang sedang bersantai-santai di taman bersama para kekasihnya. Entah juga

”Kau tahu tidak? Tidak mudah untuk memiliki kekasih seorang perempuan Belanda,” suara lelaki itu tiba-tiba memecahkan kesunyian diantara mereka.

Rudolf hanya diam. Ia tatap lagi tangan kanannya yang masih setia memegang setangkai mawar merah. Mawar yang rencananya akan ia berikan kepada Margretha.

Pikiran Rudolf kembali ke masa beberapa bulan lalu. Ia teringat kembali tentang bagaimana pertama kali bersua dengan Margreta. Saat itu ia pergi berpesta di Societeit Concordia  menemani sahabatnya Cornelis. Tempat itu adalah sebuah tempat bergaul orang-orang Belanda.  Ia dan Cornelis pergi kesana hendak menonton tonil, sebuah pertunjukkan sandiwara yang selalu menjadi primadona hiburan bagi pemuda Eropa.

Margretha, perempuan berparas cantik dengan rambut ikal kecoklatan. Senyumnya manis bak kembang gula. Topi lebar berwarna putih dan terdapat hiasan bunga di atasnya, membuat penampilannya terlihat semakin anggun. Cornelis, memperkenalkan Rudolf padanya. Cornelis adalah sahabat baiknya.

Sebagai seorang pegawai VOC, Cornelis juga punya banyak kenalan terutama teman perempuan. Ia patut berterima kasih kepada Cornelis. Jika bukan karenanya barangkali sulit pula bagi Rudolf untuk bisa ikut berbaur di Societeit Concordia. Walaupun sebenarnya tak bisa dipungkiri bahwa Rudolf merasa benci setiap kali membaca tulisan yang terpampang di bagian depan ruangan itu, “ Verboden voor honden en inlander”.

Para pribumi yang bekerja sebagai babu disana adalah orang-orang yang tak bisa membaca huruf latin. Jika mereka bisa membaca tulisan itu, entah apa yang akan mereka pikirkan. Mereka tak tahu jika tulisan itu memiliki arti, “Dilarang masuk anjing dan pribumi.” Rudolf pun pada akhirnya tak ambil pusing, para noni Belanda sudah cukup membuatnya “buta” dan melupakan kekesalan hatinya.

“Mijn naam is Margretha,”ujarnya saat pertama kali mereka berdua berkenalan. Rudolf tak melihat pandangan sinis seperti yang dilakukan oleh banyak perempuan Belanda kepadanya. Mungkin dia belum tahu kalau Rudolf adalah seorang Sinyo. Rudolf tak peduli. Yang jelas Rudolf merasa Margretha istimewa.

Margretha berarti mutiara. Nama yang cantik sekali. Saat itu Margretha  menggunakan gaun bunga-bunga dengan kalung mutiara. Kalung itu ia beli di toko Concurrent, sebuah toko perhiasan terkenal di jalan Pedati Weg. Setidaknya begitu pengakuannya. Gincu merah di bibir itu juga  membuat wajahnya terlihat segar dan memesona. Mereka berdua pun berbincang beberapa kali. Rudolf pun menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati.

Rudolf sudah terkagum pada perempuan itu sejak pertama kali bertemu. Rudolf berharap bisa menyatakan perasaannya kepada Margretha. Tadi malam ketika mereka berkumpul seperti biasa, ia pun memberanikan diri untuk membuat janji bertemu sore ini di Insulinde Park. Margretha bilang ia akan datang, walaupun ternyata sampai detik ini belum kunjung terlihat. Kemana ia? Apa ia lupa dengan janjinya? Rudolf yakin itu tak mungkin. Margretha sudah berjanji padanya. Pasti ia akan datang. Rudolf masih berusaha meyakinkan diri.

Ditengah lamunannya itu, tiba-tiba lelaki tak dikenal itu kembali berkata,

“Kau tahu bagaimana anggapan orang Belanda pada seorang pribumi?” suara lelaki paruh baya itu membuyarkan lamunan Rudolf.

Rudolf tak hendak memberi jawaban meskipun ia sudah tahu jawabannya. Rudolf memilih diam dan tak menggubris pertanyaan lelaki asing itu.

“Bagi orang Belanda, pribumi itu hanyalah babu, jongos. Mereka tak sudi berbaur dengan orang-orang kulit berwarna. Itulah kenapa mereka membuat tempat tinggal terpisah. Pemukiman Orang Eropa di utara dan Pribumi di Selatan. Mereka tak ingin terganggu dengan keberadaan orang pribumi. Mereka tak ingin keduanya menyatu. Demikian juga dengan darah. Darah Belanda yang tercampur dengan darah pribumi, maka bagi mereka tak layak lagi disebut seorang Belanda asli,” ujar lelaki itu. Rudolf terdiam.

Suara tawa para pengunjung taman terdengar dari kejauhan. Mereka tampak bersenang-senang. Entah apa yang sedang mereka tertawakan, Rudolf seakan merasa terasing di tempat itu.

Lelaki asing itu terlihat menunduk. Raut mukanya seakan berubah.

“Aku pernah jatuh cinta pada perempuan Belanda. Annie, namanya. Ia bilang kalau ia juga memiliki rasa yang sama. Hampir setiap pekan kami berbincang dan duduk berdua disini. Sayangnya ditengah kebahagiaan itu tiba-tiba ia pergi. Ia menghilang tanpa kata perpisahan. Setelah lama kucari tahu ternyata ia sudah kembali ke Belanda. Aku hampir gila dibuatnya. Sampai sekarang aku tak bisa melupakannya. Dulu, hampir setiap sore aku duduk disini hanya untuk mengingatnya,” ujarnya.

Rudolf lagi-lagi terdiam. Ia genggam tangkai mawar itu lebih erat. Terasa sakit. Rudolf meringis.

“Aku hanyalah Sinyo, sama seperti kau. Seorang Sinyo tak berhak menjalin kasih dengan seorang Belanda. Begitu ujar mereka,” Lelaki itu tersenyum sinis.

Mendengar itu dada Rudolf terasa berat. Ia tahu bahwa menjadi seorang Sinyo tak serta merta memberikan keuntungan baginya. Pikiran Rudolf langsung kembali pada ingatan masa lalu saat bersekolah di sekolah Belanda. Betapa banyak saat itu yang memandangnya dengan pandangan mencemooh. Saat itu Rudolf merasa terasing. Mereka menganggap orang pribumi itu adalah orang bodoh dan pemalas. Namun diantara ketidaksukaan mereka, ada satu orang Belanda yang mau menerima Rudolf, dia adalah Cornelis, sahabat baiknya hingga kini.

“Saat itu aku begitu terpuruk karena tak mudah untuk melupakan Annie. Aku sampai mengutuk diri kenapa harus dilahirkan oleh seorang perempuan pribumi. Tapi tahukah kau siapa yang pada akhirnya membuatku bangkit?” Lelaki itu kembali bertanya.

“Ibuku sendiri dan seorang perempuan pribumi bernama Ratna. Temen satu sekolahku di Recht Hoge School. Semenjak mengenalnya aku tersadar bahwa betapa bodohnya aku selama ini karena sering merasa rendah diri. Aku terlalu memandang tinggi seorang Belanda. Aku selalu menganggap bahwa menjadi Belanda adalah segala-galanya. Padahal untuk apa kita menyanjung manusia yang telah menjajah negeri kita? Seakan kita tak punya harga sebagai manusia,” lelaki itu berkata dengan wajah berapi-api.

Senja makin merah. Lelaki itu tiba-tiba berdiri dari bangkunya. Lelaki yang hingga detik itu masih tak ia ketahui siapa namanya,

“Pulanglah…Yang kau tunggu tak akan tiba. Mungkin selama ini ia hanya bermain-main denganmu. Mereka tak peduli padamu. Aku berpesan padamu, tak perlu pula kau mengutuk dirimu hanya karena memiliki darah pribumi. Jangan merasa terasing dengan dirimu sendiri, kau mengerti?” Rudolf terdiam. Lelaki itu pun pamit tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Ia pergi meninggalkan Rudolf yang termenung seorang diri.

Rudolf masih duduk termangu. Suasana Insulinde Park juga semakin bisu. Tak ada lagi hingar bingar suara tawa maupun lagu. Rudolf menatap setangkai mawar yang telah layu seakan memberi tanda baginya bahwa telah habis waktu untuk menunggu. Dilemparkannya setangkai mawar itu ke taman dan Rudolf pun pergi berlalu.

Malam ini tak akan ada pesta. Malam ini ia hanya akan menghabiskan waktu bersama ibunya. Seorang Nyai yang selama ini sering dipandang dengan sebelah mata, termasuk Rudolf pun bahkan sempat membencinya.

Saatnya pulang. Pulang dengan sebenar-benarnya pulang. Pulang ketempat aku  seharusnya berasal.

Sinyo itu berlalu meninggalkan taman. Wewangian ditubuhnya telah menguap hilang tapi ia sudah tiada peduli. Ia sadar bahwa seorang manusia memang tak bisa memilih untuk menjadi seorang Inlander ataupun Nederlander. Seorang manusia tak bisa memilih untuk berkulit putih atau berwarna, tetapi seorang manusia bisa memilih untuk menerima jati dirinya dan berhenti menghamba kepada para penjajah.

sumber foto : pixabay.com/sam_Ig

sumber foto : pixabay.com/sam_Ig

 

Sumber featured image :  pixabay.com/PubicDomainPictures

 

About the author: Wenti I.
Perempuan yang senang menulis dan senang berdiskusi dengan dirinya sendiri.
error: Content is protected !!