“Jang, katanya Bandung itu kota kembang tapi dimana kembangnya?” tanya Umar.

“Kembang beneran atau betulan?” Jawab Ujang Entis.

“Terus katanya juga Paris van Java, tapi kok ngga ada menara Eiffelnya?”

“Ada tuh menara gading, mau?” ketus entis.

Atuh da sekarang meni banyak turisnya?” buru Umar lagi.

“Lah apa hubungannya? Sirik aja kamu mah,”

Perbincangan Umar dan Ujang Entis boleh jadi mewakili rasa penasaran kita perihal relevansi julukan-julukan tersebut dengan kondisi kekinian. Terlebih lagi, selama beberapa tahun belakangan wajah kota seolah berubah rupa dengan banyaknya pendatang dan wisatawan yang datang.

Bandung ibarat gula yang memikat untuk dikerubungi. Nggak keren kalau belum ke Bandung karena di sinilah pusatnya mode dan gaya, kota inovasi, kota pelajar, destinasi wisata belanja, surga kuliner, dan seabrek julukan lain yang disematkan padanya.

Maka tak heran, sebelum pandemi Covid-19 Pemerintah Kota Bandung senantiasa mematok target jutaan wisatawan per tahunnya. Seperti dilansir sindonews.com (3/11/2020), Kota Bandung menargetkan 8,6 juta kunjungan wisatawan. Namun karena wabah corona, angka tersebut direvisi menjadi 2,5 juta wisatawan saja. Meski mengalami penurunan, jumlah kunjungan tersebut sebenarnya boleh dibilang masih cukup fantastis.

Akan tetapi ukuran keberhasilan suatu kota tentu tak melulu soal deret angka kunjungan. Seperti yang diucapkan Ridwan Kamil ketika masih menakhodai Kota Bandung. Kala itu menurut Kang Emil indikatornya lebih pada kebahagiaan warga kota. Nah, apakah wargi Bandung berbahagia dengan para turis itu atau justru malah merasa terusik akibat dampaknya, itulah yang perlu dicari tahu.

Saya sih asyik-asyik saja selama turis dan pendatang tersebut membawa imbas positif terhadap pembangunan Bandung. Meskipun ada puluhan mall, hotel, dan apartemen yang tersebar yang makin menegaskan istilah Bandung heurin ku tangtung (Bandung sesak oleh yang tegak berdiri). Tak masalah selama pembangunan dan sematan kosmopolitan itu juga dapat dinikmati oleh masyarakat Bandung secara luas, alias Urang Bandung tidak sekadar jadi figuran saja.

“Ah Jang, saya mah kangen sama Bandung yang dulu, lebih geulis sigana,”khayal Umar.

Baiklah, khayalan Umar diperbolehkan sejenak. Siapa sangka, Bandung yang sekarang begitu dimanis itu dulunya danau purba yang luas lagi tenang. Dalam “The Geology Of Indonesia” (1949) R.W. Van Bemmelen menjelaskan tentang keberadaan danau purba di Cekungan Bandung. Dia begitu takjub oleh keberadaan danau purba yang sudah mulai terdata oleh Stehn dan Umbgrove pada presentasinya di pertemuan Sains Asia Pasifik IV yang digelar di Kota Bandung pada 1929.

Lebih jauh sebelum itu, keberadaan danau purba Bandung juga sebenarnya sudah tersirat dalam sasakala Sangkuriang. Pada legenda itu dikisahkan adanya Situ Hyang atau Danau Dewa. Alkisah, Dayang Sumbi meminta kepada Sangkuriang yang merupakan anak kandungnya agar membuat danau beserta perahunya dalam waktu semalam sebagai syarat jika ingin menikahinya.

Pada literatur lainnya, Geolog kenamaan T. Bachtiar dan (alm) Budi Brahmantyo dalam “Wisata Bumi Cekungan Bandung” (2009) menjelaskan, Kota Bandung sekarang dulunya merupakan genangan sebuah danau yang amat luas. Danau tersebut diperkirakan muncul sejak 125.000 tahun lalu dan kemudian mengering sekitar 16.000 tahun lalu.

Berdasarkan morfologinya, danau ini diprediksi berukuran 50x15km persegi yang terbentuk pada masa Pleistosen akhir. Keberadaannya diketahui dari endapan-endapan yang ditemukan dan tersebar se-Bandung Raya.

Bachtiar dan Budi berpendapat, sisa-sisa danau purba tersebut dapat ditemukan di Situ Aksan yang menjadi salah satu wisata primadona warga Bandung di era 60-an. Pada masa itu, banyak warga bersengaja duduk-duduk menikmati situ yang tenang atau sambil berperahu mengitari danau kecil tersebut. Sayangnya sejak tahun 1980, Situ satu-satunya peninggalan danau purba itu beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman elit.

Teramat disayangkan memang, “Tapi nasi sudah jadi bubur, bubur juga sudah bermodifikasi sedemikian rupa,” begitu ucap Umar.

Sebagai hiburan kita buat ilustrasi saja, jika kita berada di Taman Balaikota Bandung pada 20.000 tahun lalu maka kita mungkin sedang bermain air hingga sepinggang. Kemudian kita dapat menyaksikan satwa badak putih berkeliaran dan mandi lumpur sepuasnya. Ini menjadi alasan adanya patung badak berwarna putih di Taman Balaikota sekarang. Lalu lanjut bermain ke pantainya yang diperkirakan berada di pertokoan tersohor Bandung Indah Plasa (BIP) saat ini.

Sementara jika kita berada di Alun-Alun Bandung pada 20.000 tahun lalu maka siap-siaplah menyelam atau tenggelam. Pasalnya di lokasi itu kita tepat berada di kedalaman danau 10 hingga 15 meter. Tentu saja, di masa itu jelas mustahil menikmati hamparan rumput sintetis sambil bermain bola bersama anak-anak seperti yang umum kita saksikan saat ini.

“Bandung dilingkung gunung, Bandung heurin ku tangtung,” ah rasanya kalimat tersebut masih menyisakan misteri untuk ditelusuri.

About the author: Indra_Setiawan
Hanya seorang penikmat sejarah yang kebetulan juga mahasiswa dan penulis lepas
error: Content is protected !!