Langkahnya mantap dan tegar, namun agak gugup. Meski bukan yang pertama kalinya, tetapi kunjungan kali ini berbeda. Ada titipan berharga yang ia bawa untuk suami tercinta.

Inggit menuntun putrinya yang ceria menyusuri Regentsweg yang mulai merangkak ramai pagi itu. Langkahnya tak terburu-buru, tetapi juga tak terlalu santai. Tangan kirinya menenteng susunan rantang berisi makanan. Tadinya ia akan mengajak serta istri Gatot Mangkoepradja untuk menemaninya, namun urung ia lakukan. Terlalu beresiko. Kunjungan kali ini ia lakukan hanya berdua saja dengan putrinya, Ratna Djuami. Tentu saja anak itu girang bukan main setelah satu minggu tak bisa bertemu dengan papi-nya. Memang, anak itu adalah kesayangan sang ayah.

Badé kamana, Ceu? Hayu urang jajapkeun!” Sebuah delman merapat ke arah Inggit. “Mau kemana? Mari saya antar!”

“Eh, Mang Aép!” jawab Inggit, “Tidak usah, Mang. Biasa, sudah dekat”

“Ooh, masih di sana?” tanya Mang Aép seakan sudah tahu kemana tujuan Inggit pagi itu.

“Masih,” jawab Inggit singkat.

“Baiklah, sampaikan salam saya ya, Ceu!” kata kusir delman itu sambil melecut kudanya.

Hatur nuhun!

Inggit tersenyum gembira. Meski hanya seperti itu, ia bersyukur masih ada yang bersimpati mendukung dirinya dan sang suami. Sungguh, jika dipikir-pikir ini adalah tantangan yang berat, apalagi bagi orang seperti dirinya. Namun, Inggit menguatkan hatinya supaya suaminya tidak goyah meski sedang ditimpa musibah. Suaminya masih berada di tempat yang buruk, bukan berarti bahwa dirinya harus ikut terpuruk.

Tak begitu jauh dari tempat ia bertemu dengan kusir delman itu, Inggit kembali bertemu dengan orang yang ia kenal baik. Sosrokartono namanya. Meski sudah cukup berumur, namun perawakannya masih tegap dengan ditompang sebuah tongkat kayu di tangannya. Ia seorang bangsawan cerdas yang membuka ruang pengobatan bernama Daroessalam untuk masyarakat bumiputra tak jauh dari kediaman Inggit. Suaminya sering menyempatkan diri bertemu dengan Sosrokartono, baik di rumahnya maupun di tempat lain. Ia sudah dianggap sebagai guru oleh suami Inggit.

“Yang tegar ya, Jeng,” katanya dengan logat Jawa yang khas, “Ujian ini memang berat, tetapi memang harus dilakoni oleh suamimu. Bersabarlah, bersama kesulitan ada kemudahan, insya Allah.”

“Terima kasih,” jawab Inggit, “Dukungan Mas dan teman-teman sungguh berarti untuk saya dan suami.”

Selepas mengucap salam, Sosrokartono berlalu melanjutkan perjalanannya menuju kediamannya. Inggit kembali menuntun Djuami menyusuri Regentsweg yang semakin hiruk-pikuk oleh orang-orang yang berlalu lalang. Satu lagi penghiburan bagi hati Inggit yang gelisah.

Mendekati wilayah alun-alun, Inggit melihat seorang pemuda di usia 20-an tahun sedang menantinya di sana. Ia bersandar di tembok sebuah rumah makan sambil menenteng beberapa bungkusan dari daun pisang. Inggit kenal dengan pemuda itu. Namanya Fadli Badjuri, putra Mang Badjuri. Tembok rumah makan yang ia sandari adalah milik ayahnya, Rumah Makan Madrawi “Madura,” salah satu tempat singgah favorit suami Inggit ketika berangkat dan pulang dari kuliahnya. Persahabatan Fadli dan suami Inggit cukup dekat, karena atas bantuannya sang suami dapat bercakap-cakap dengan masyarakat Sunda saat pertama kali ia datang ke Bandung. Tak jarang pula, Fadli meminta izin kepada ayahnya untuk mempersilakan suami Inggit dan teman-temannya menggunakan ruangan belakang rumah makan sebagai tempat berdiskusi.

Ketika Inggit semakin mendekat, pemuda itu bergerak menyambutnya. Tangannya menyodorkan bungkusan yang dipegangnya.

“Ceu, ini untuk yang dibui,” kata Fadli dengan mantap.

Nuhun, Li,” jawab Inggit sembari mengambil bungkusan yang disodorkan. “Terima kasih.”

Inggit dan Djuami berlalu meninggalkan Fadli yang tergesa-gesa memasuki rumah makan ayahnya. Hatinya semakin mantap mendapat tiga hiburan sekaligus di pagi itu. Tak boleh mundur, apa yang dibawanya sangat dibutuhkan oleh suaminya.

Tujuannya sudah di depan mata dan Djuami melonjak kegirangan. Inggit mengetuk pintu gerbangnya, seorang sipir menghampiri.

“Ada keperluan apa?” tanya si sipir dengan ketus.

“Saya mau bertemu dengan Soekarno,” jawab Inggit dengan tenang.

“Anda siapa?” si sipir curiga.

“Inggit Garnasih, istrinya,” jawab Inggit, “Saya membawakan makanan kesukaan suami saya”

Si sipir membukakan pintu gerbang dan memeriksa dengan terperinci semua barang yang dibawa oleh Inggit. Begitu pula dengan Djuami. Inggit menahan napas dan degup jantungnya selama pemeriksaan itu berlangsung. Wajar saja, penjagaan di Penjara Bantjeuj diperketat sejak Soekarno dan kawan-kawannya ditahan di sana. Bagi pemerintah, ia adalah tahanan politik yang berbahaya. Soekarno dan kawan-kawannya dicegah untuk mendapatkan berita maupun buku yang terkait dengan kegiatan politik bangsanya.

“Mari ikut saya,” kata si sipir tampak puas dan menyudahi pemeriksaan.

Tubuh Inggit sempat melemas sebentar usai pemeriksaan. Ia mencoba mengatur napasnya secepatnya. Mungkin akibat ketegangan yang ia rasakan selama sipir itu memeriksanya. Atau mungkin juga karena puasa yang sudah ia lakukan selama beberapa hari sebelumnya. Tetapi ia bersyukur, benda titipan suaminya tidak ketahuan oleh si sipir. Cara yang Inggit lakukan ternyata cukup ampuh untuk mengelabui pemeriksaan. Tinggal bagaimana cara menyampaikan benda itu nanti pada Soekarno.

“Ibu diberi waktu hanya lima belas menit saja, tidak lebih,” kata si sipir sambil menunjukkan ruangan yang dapat dipakai oleh Inggit bertemu dengan Soekarno. “Tidak boleh berbicara dalam bahasa Sunda, hanya boleh menggunakan bahasa Belanda atau Melayu. Jika melanggar, Ibu tidak akan diperbolehkan lagi bertemu dengan suami Ibu.”

Begitu memasuki ruangan, Inggit melihat suaminya tersenyum gembira. Djuami tak henti-henti bersorak kegirangan bertemu dengan papi-nya. Selama beberapa menit, mereka melepas kerinduan yang terperangkap selama berhari-hari tanpa bisa berjumpa. Rantang makanan dan bungkusan pun segera diterima dengan riang oleh Soekarno. Setelah itu, Inggit menyuruh Djuami untuk bermain dengan si sipir sementara ia berbicara dengan sang suami. Kebetulan sekali, si sipir sangat suka dengan anak kecil, sehingga Inggit berpikir inilah kesempatan yang ia tunggu sejak tadi. Perhatian sipir penjara akan teralihkan sementara oleh Djuami.

Sambil berbicara dengan Soekarno, diam-diam Inggit memasukkan tangannya ke dalam stagen yang melilit perutnya. Dari sana ia meraih setumpuk kertas yang ia sisipkan di antara perutnya. Itu adalah naskah pembelaan yang dipesan oleh Soekarno pada kunjungan sebelumnya. Inggit mendapatkan naskah itu dengan menyuruh pembantu setianya, Encon, berangkat ke Jakarta untuk menemui Mr. Sartono, salah satu pembela Soekarno di sidang pengadilan di gedung Landraad. Naskah itu penting bagi Soekarno untuk dipelajari sebelum menghadapi persidangan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, penyelundupan yang dilakukan oleh Inggit termasuk beresiko tinggi jika sampai ketahuan oleh sipir penjara.

Dari bawah meja, dengan cepat naskah itu berpindah tangan. Soekarno menyisipkan dokumen berbahaya itu ke dalam kaos dan berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Kelegaan Inggit memuncak ketika pertemuan itu selesai, ia tidak mendengar kegaduhan apapun yang mengindikasikan naskah itu aman di tangan Soekarno. Tugasnya hari itu selesai, namun perjalanan masih panjang. Suaminya masih ditahan dan persidangan akan segera menjelang. Kelak, naskah yang ia selundupkan ke dalam penjara akan Soekarno susun menjadi naskah yang sangat fenomenal di masa itu, naskah yang akan mengguncang seantero Nusantara bahkan hingga ke negeri Belanda. Naskah itu akan dibacakan oleh Soekarno di hadapan hakim sidang di gedung Landraad dan di hadapan dunia yang terjajah, dengan judul “Indonesia Menggugat!”


Diolah menggunakan sumber buku:
Ramadhan K.H. (2011). Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Yogyakarta: Bentang.
Reni Nuryanti. (2007). Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Lily Martin. (1992). Kisah Cinta Inggit & Bung Karno. Jakarta: PT Pijar Fandra Gemilang.

Sumber gambar:
@ibuinggitgarnasih

error: Content is protected !!