Sebagai makhluk yang berpikir, manusia terus menjelajahi misteri alam semesta dan isinya. Ia akan terus membuka selubung ketidaktahuan, mencari lapisan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus hadir dalam benak. Dan sampai kapan pun manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang telah ditemukan hari ini. Ia akan terus mencari dan mengeksplorasi. Oleh karena itu ilmu pengetahuan akan terus menerus diperbaharui seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Setidak-tidaknya ada tiga faktor pendukung utama dalam meluasnya ilmu pengetahuan, baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Faktor pertama tentu saja datang dari ilmuwan tersebut sebagai subjek yang tak bisa dipisahkan dari discovery dan atau invention yang sedang dilakukannya. Faktor kedua adalah dari pemimpin yang sedang berkuasa pada waktu itu, apakah mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau malah mendegradasinya.
Secara historis hal ini dapat dijelaskan misalnya ketika zaman kekhalifahan Abbasiyah. Tak diragukan lagi bahwa pada masa itu ilmu pengetahuan berkembang pesat, salah satunya karena didukung oleh sebagian khalifah yang memberika fasilitas memadai. Sehingga tugas sang ilmuwan tinggal bekerja dan berkarya.
Di belahan Eropa ratusan tahun silam, kita bisa mendapat informasi bagaimana raja atau ratu Spanyol dan Portugis memberikan dukungan seluas-luasnya dalam pencarian rempah-rempah dan dunia baru yang masih terra incognita. Sponsor perjalanan Colombus berkeliling dunia oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella hanya sebagian kecil contoh.
Faktor ketiga yang tak bisa dianggap enteng adalah, adanya sekumpulan orang-orang berkelebihan harta, dan secara sadar diinvestasikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka menyadari bahwa donasi atau filantropi yang disumbangkan itu demi kemanusiaan dan peradaban yang lebih baik. Dus hakikat keuntungannya akan kembali pada mereka sendiri.
Sebagai contoh, pasca renaissance muncul komunitas-komunitas seperti The Royal Society of England, The Academy of Sciences of Paris, dan The Royal Society of Sciences in Uppsala. Kolaborasi antara ilmuwan, pemimpin yang berkuasa, dan orang kaya royal melapangkan jalan adanya titik terang akan pengetahuan yang sedang diselidiki.
Nah, orang-orang kaya dengan tipe tersebut akan selalu ada di belahan bumi mana pun. Tak terkecuali ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Barangkali karena memang mempunyai visi besar atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau karena sebagai rasa terima kasih sehingga sebagian keuntungannya harus dikembalikan lagi pada kaum pribumi.
Karel Albert Rudolf Bosscha adalah satu nama yang lekat dan besar jasanya terhadap Bandung. Salah dua warisannya bahkan sudah menjadi ikon Bandung dan terus dimanfaatkan hingga kini: Technische Hogerschool Bandung (kini ITB) dan Observatorium Bosscha. Kedua lambang ilmu pengetahuan yang berada di Bandung ini diresmikan hampir bersamaan. Tak lebih dari tiga tahun antara keduanya. TH Bandung 3 Juli 1920 dan Observatorium Bosscha pada 1 Januari 1923.
Barangkali ada dua hal yang menyebabkan Bosscha memberikan kontribus berharga terhadap rintisan pendidikan dan ilmu pengetahuan, khususnya di Bandung, Pertama, secara internal tidak lain dan tidak bukan berasal dari latar belakang keluarganya yang sangat terdidik.
Ayahnya, Prof. Dr. Johannes Bosscha adalah guru besar Fisika di Akademi Militer Breda dan Direktur Politeknik Delft. Konon, kakeknya Bosscha juga menyandang gelar profesor. Dari sisi ibunya, Bosscha bagian dari keluarga besar penguasaha perkebunan yang kaya di Priangan. Salah satu kakaknya, yaitu Dr. Jan Bosscha seorang ahli geologi yang pada tahun 1888 sedang melakukan ekplorasi di wilayah Kalimantan. Bosscha sendiri jebolan Politeknik Delft, karena berselisih dengan seorang dosennya, ia terpaksa angkat kaki.
Dengan kondisi diri dan keluarganya yang menempatkan pendidkan pada tempat terhormat, sudah sewajarnya Bosscha dan terutama karena sebagai pemilik perkebunan Teh Malabar, ia memiliki tanggung jawab lebih dalam memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di mana ia bertempat tinggal. Kedua, bahwa secara eksternal tahun 1920-an merupakan dua dekade perjalanan kebijakan politik etis yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Semangat politik balas budi terus bergulir. Sekolah dibangun. Pendidikan tinggi mulai didirikan.
Ya, dan itu tadi, Bosscha dengan relasi bisnis dan akses bagus ke pemerintah kolonial Hindia Belanda, berinisiasi merancang pendidikan tinggi teknik pertama di tanah jajahan. Awalnya, mungkin saja untuk memasok tenaga-tenaga terampil bidang teknik yang sangat dibutuhkan pada saat itu.
Pada titik inilah kita melihat bagaimana kerjasama apik antara ilmuwan, pemimpin yang sedang berkuasa, ditambah dengan pengusaha yang peduli pendidikan. Walikota Bandung Bertus Coops menyediakan tanah seluas 30 hektar dekat Dago. JW Ijzerman mendirikan perkumpulan Koninklijk Instituut voor Hoger Onderwijs in Nederlands India. Dan Bosscha yang sudah sukses menjadi penguasaha teh Malabar diangkat sebagai bagian dari manajemen dari sekolah tinggi teknik yang akan dibangun tersebut. Tak butuh waktu lama, dari wacana pendirian perguruan tinggi tahun 1917 hingga dibuka pada Juli 1920.
Nama Bosscha kembali lagi disebut sebagai penyandang dana pembangunan sebuah observatorium. Tak hanya sebagai donatur pembangunan, ia terlibat secara teknis dalam merumuskan konstruksi yang pas untuk sebuah observatorium dan teleskop yang akan digunakan. Mengapa Bosscha sangat gigih agar inisiatif ini tercapai? Ayahnya selain sebagai profesor fisika, ia juga penyuka astronomi. Maka tak heran ketika suatu hari di tahun 1902, Bosscha mengunjungi orangtuanya di negeri Belanda, ayahnya sempat berpesan, “Anakku, kalau kau kelak mempunyai keberuntungan, buatlah sesuatu untuk penyelidikan ilmu bintang di negeri itu”.
Kata-kata ayahnya itu kemudian diwujudkan Bosscha delapan belas tahun kemudian. Tahun 1920 ia menjabat sebagai ketua umum Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (Persatuan Ilmu Astronomi Hindia Belanda). Sebagai pengusaha perkebunan yang disegani, ia dengan mudah memiliki akses dengan sejumlah pejabat Hindia Belanda. Sumbangsihnya untuk kemajuan astronomi mendapat dukungan luas. Reputasi Bosscha yang bagus membuat beberapa perusahaan tak ragu untuk menyumbang gagasan baik ini. Perusahaan minyak BPM, Javasche Bank, perusahaan kereta api pemerintah SS adalah sebagian perusahaan yang memberikan donasi tak sedikit.
Untuk mewujudkan observatorium itu, Bosscha tentu saja tak sendiri. Ia dibantu oleh Joan George Erardus Gijsbertus Voute. Seorang insinyur sipil lulusan Delft kelahiran Madiun 1879. Voute kemudian menekuni astronomi di Leiden. Kurun waktu 1913-1919, Voute bekerja pada observatorium di Cape Town Afrika Selatan sebelum kemudian Profesor van Bemmelen memanggilnya ke Jawa.
Nah, di Jawa inilah ia bertemu dengan Bosscha yang satu pemikiran. Voute yang ilmuwan, dan Bosscha yang hartawan. Itulah yang mendasari lahirnya perkumpulan astronomi di Hindia Belanda. Tak tanggung-tanggung, Bosscha bersama Voute berkeliling Eropa guna mendapatkan alat-alat astronomi yang diperlukannya. Donasi teleskop pertama datang dari Profesor de Sitter pada Januari 1924. Selain itu, Profesor Hendricus Gerardus van de Sande Bakhuyszen, mantan direktur observatorium Leiden menghibahkan koleksi perpustkaan pribadinya. Teleskop pesanan Bosscha yang dibuat antara tahun 1925-1926 kemudian datang dan diresmikan secara penuh pada Juni 1928.
Sayang, Bosscha tak lama melihat jejak filantropis yang ditinggalkannya itu. Dalam kesejukan Bandung ia wafat pada 26 November 1928. Di area perkebunan teh Malabar ia bersemayam. Ratusan pelayat mengiringinya hingga memanjang sejauh kurang lebih dua kilometer.
Bibliografi
Her Suganda. Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934). Jakarta: Penerbit Kompas. 2015
Her Suganda. Kisah Para Preanger Planters. Jakarta: Penerbit Kompas. 2014
Joyce Apleby. Shores of Knowledege. New York. WW Norton & Company Inc. 2013
Peter Boomgard. The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on Indonesia 1600 – 2000. Januari 2006
Bambang Hidayat. Under A Tropical Sky: A History of Astronomy in Indonesia. 2000
Bambang Hidayat et al. The Development of Astronomy and Emergence of Astrophysics in Indonesia. November 2017
Sumber foto: Wikipedia