Setiap sudut Bragaweg adalah tunas-tunas kenangan, kemudian tumbuh subur di kening siapa saja yang pernah jatuh cinta padanya.

*

Goedenmiddag[1], Elena van Leeuwen.”

Gadis elegan dengan rambut pendek bergelombang itu pada awalnya tengah mengamati burung gereja yang terbang di puncak kepala, sebelum pemuda berkemeja kotak-kotak yang ditunggu mengalihkan perhatiannya.

“Baskara!” Elena melambaikan tangan.

“Sudah lama menunggu?”  Baskara menepikan sepeda onthelnya. Dipandangnya Elena yang dibalut gaun putih serta kalung menghiasi leher. Tampak riasan tipis di pipinya, merona merah. Ah, gadis delapan belas tahun itu selalu menawan bagaimanapun penampilannya.

“Belum. Baru lima menit yang lalu,” Elena membetulkan letak topinya, enggan membiarkan sinar mentari menyengat kulit wajahnya walau seinchi.

“Bicara-bicara, kamu sudah izin dengan Tuan Leeuwen?”

“Memang mengapa kalau tidak izin?”

“Mengapa kamu balik bertanya?”

Melihat raut serius mengambang di permukaan wajah Baskara, tawa Elena tersulut, “Iya, iya. Saya sudah dapat izin untuk pergi dengan kamu.”

Elena menyingkap gaunnya, memosisikan dirinya di bangku penumpang. Tidak lama, keduanya melesat membelah Bragaweg[2] yang Minggu itu dipenuhi drama. Ada keluarga dengan anaknya tertawa terbahak-bahak, mungkin saja kali pertama mereka naik kendaraan roda empat. Ada pria tua bersarung yang baru saja membeli beras untuk melanjutkan kehidupan.

Ada juga sepasang yang sibuk berdebat di atas sepeda onthel. De meest Europeesche winkelstraat van Indie[3] bersaksi untuk itu.

“Saya duga pasti kamu tidak punya izin,” Baskara menggelengkan kepalanya.

Udara panas sekali, namun tak menyurutkan aktivitas di Bragaweg. Onderling Belang yang lebih dikenal dengan singkatan OB masih mempat sebab kelebihan pengunjung. Salah satu toko busana yang dibuka pada awal 1913 sebagai cabang kedua di Hindia Belanda dari OB Amsterdam itu menyajikan fashion yang berkiblat kepada mode yang tengah populer di Belanda. Dengar-dengar, mereka bersaing ketat dengan Au Bon Marche kepemilikan Makkinga di seberangnya yang berkiblat ke mode Perancis.

“Sudah. Saya berkata saya akan pergi dengan seorang teman,” kata Elena. Tangannya erat melingkar di pinggang Baskara. Dipandanginya tubuh bidang yang dihujani keringat sebab sekuat tenaga mengayuh sepeda hampir empat kilometer jauhnya demi menghibur dirinya.

“Tidak bilang pergi dengan saya?” ledek Baskara.

Nee[4].”

“Pertanyaan saya retoris, ya? Tuan Leeuwen mana mungkin membiarkan putrinya bergaul dengan seorang inlander[5] seperti saya.”

Dan detik setelahnya menjelma bisu.

Bragaweg dulu merupakan jalan pedati berlumpur yang lebih dikenal dengan nama karrenweg atau pedatiweg. Tugasnya menghubungkan gudang kopi kepunyaan Andreas de Wilde, seorang dokter ahli bedah pasukan artileri Belanda. Kemudian mengalami perkembangan sekitar akhir abad ke-19 seiring dengan pembangunan Bandoeng.

“Baskara, langzaam[6]! Saya hampir jatuh,” tegur Elena usai roda-roda sepeda onthel Baskara dengan keras menerjang sebuah tanggul.

Wat zeg jij?[7] Saya tidak dengar!”

Setiap sudut Bragaweg adalah tunas-tunas kenangan, kemudian tumbuh subur di kening siapa saja yang pernah jatuh cinta padanya. Barangkali, Hellerman merupakan pengusaha paling bahagia usai sukses membangun toko pertama di Bragaweg. Toko yang dibangun pada 1894 itu menjual sepeda hingga kereta kuda. Juga ada bengkel reparasi di dalamnya.

Langzaam!” ulang Elena setengah berteriak.

Baskara terpingkal, memelankan laju kendaraannya.

Jangan lupakan kleermaker[8] tersohor, pasangan Keller yang telah berbisnis konveksi sejak lama di Belanda sebelum pindah ke Bragaweg dengan menyewa ruangan toko firma E.W. van Loo. Ada satu lagi, August Savelkoul, langganan gubernur jenderal Hindia Belanda yang pertama kali mengenakan metode kleeding naar maat[9].

Entah apa yang kurang dari Bragaweg kesayangan burjois[10] ini. Penggemar cerutu dari segala merek dan para pengisap pipa bisa datang ke Tabaksplant. Urusan perut? Berserah saja kepada Firma Kuyi en Vesteeg, Maison Boin, atau Het Snoephuis yang ahli dalam cuisiniers, patissiers, dan glaciere. Ingin beli mobil? Perusahaan Fuchs & Rens yang didirikan kisaran 1919 pun  menjadi agen penjual mobil sekaligus bengkel esembling terbesar di Bandoeng.

“Kita sudah sampai, El,” ucap Baskara, menyadarkan Elena yang sedari tadi larut dalam perjalanan. Elena turun dari bangku, membetulkan tatanan rambut dan letak topi bundarnya, lalu tanpa basa-basi menarik pergelangan tangan Baskara yang bahkan belum khatam memarkirkan sepeda onthelnya.

“Memang inlander boleh ikut menonton?” tanya Baskara, di tengah riuh manusia-manusia tinggi besar yang meredam suaranya.

“Jika tidak ada kamu, maka saya tidak jadi menonton!” jawab Elena.

Preanger Wedloop Societet, pesta pacuan kuda ini rutin diadakan di Tegallega. Orang Belanda kerap menyebutnya sebagai pesta raja. Karena pacuan kuda yang berlangsung selama tiga hari ini diselenggarakan dalam rangka merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus.

“Sudah pasti kuda milik juragan perkebunan teh itu yang menang,” celetuk Elena.

Baskara melirik gadis bermanik hijau itu, “Kata siapa?”

“Kata saya.”

“Berani taruhan sama saya?” tantang pemuda berkulit sawo matang yang kontras dengan gadis di sampingnya itu.

“Berani! Kalau kamu salah, belikan saya surabi[11] yang banyak,” pinta Elena.

“Kalau kamu yang salah?” tanya Baskara.

“Belikan saya surabi juga,” jawab Elena, terbahak. Pemuda yang terpaut usia tiga tahun darinya ikut terbahak juga.

“Saya akan belikan kamu surabi yang banyak,” bisik Baskara.

“Berapa banyak?”

“Satu juta gulden bila saya punya.”

Keduanya tebahak lagi. Jajanan bulat yang dibuat dari tepung terigu dan telur, kemudian disajikan  dengan saus kinca atau gula merah itu memang menjadi kesukaan Elena. Dan Baskara, tentu.

Pacuan kuda yang berakhir sore menjelang malam itu persis seperti prediksi Elena, membuat gadis itu besar kepala. Sepanjang perjalanan pulang—yang ditempuh dengan jalan kaki sebab Baskara kewalahan—, Elena terus menuntut taruhannya.

“Saya mau surabi,” rengek Elena.

“Iya Elena. Besok sepulang saya bekerja, saya akan belikan kamu surabi,” janji pemuda yang kesehariannya bekerja sebagai penyunting di kabar harian lokal itu.

Malam-malam di Bragaweg biasanya tidak secerah ini. Purnama yang menggantung di angkasa, rasi bintang yang bertaburan sebagai pelengkapnya. Barangkali, mereka turut berbahagia untuk perayaan tadi. Societeit Concordia, tempat berkumpulnya elit Eropa yang ada di ujung jalan itu juga sesak sekali.

“Tuan Leeuwen tidak ikut minum di sana?” tanya Baskara sambil tangannya menuntun sepeda onthel kesayangannya, peninggalan almarhum bapak.

Weet niet[12]. Bisa saja. Saya tidak begitu dekat dengan ayah saya,” ungkap Elena. Leeuwen merupakan juragan perkebunan kopi termahsyur. Memang beliau sering di rumah, tetapi bukan untuk keluarganya. Untuk pekerjaannya.

Lalu, hening cukup lama.

“Baskara …,” panggil Elena.

“Iya?”

Langkah Elena melambat. Angin malam membelai telapak tangan gadis yang sejak lima menit lalu itu keringat dingin. Disusul debar jantungnya yang melebur dengan jantung kota. Ramai. Matanya cermat mengukir struktur wajah Baskara dalam. Tatapannya yang bagai elang, kumisnya yang tipis mewarnai sudut bibirnya. Elena rasa, satu semesta tengah memperhatikan mereka sekarang.

Dua detik lamanya, satu kecupan singkat mendarat di pipi Baskara, menciptakan kejut yang menghentikan seluruh aliran darah dalam dirinya.

“Baskara, ik hou van je[13].”

*

We’ll meet again

Don’t know where, don’t know when

But I know we’ll meet again

Some sunny day

Keep smiling through

Just like you always do

‘Till the blue skies drive the dark clouds far away

We’ll Meet Again yang dipopulerkan oleh Vera Lynn mendayu-dayu di ruangan yang kini terasa hampa. Di antaranya terduduk seorang wanita berusia sekitar 40, sibuk bergulat dengan pikirannya.

Ia menyesap kopi hangat dari cangkir yang sudah lama dipegangnya.

Kenangan-kenangan tentang Bragaweg yang membuatnya jatuh cinta bukan hanya kepada tempatnya, namun juga kepada salah satu penghuninya tumbuh subur di kening, menciptakan distraksi-distraksi yang membangkitkan rasa lama. Rasa yang tak ia mungkiri, masih ada dan bergejolak di dalam dada. Rasa yang membuat semuanya hanya sebatas kemungkinan-kemungkinan kepada siapa saja yang singgah usai sosok bernama Baskara.

Jika saja 30 Agustus 1925 lalu ia melarang Baskara bepergian, mungkin masih ada sosok pria itu di sampingnya kini, bukan bayangan dirinya sendiri. Kemudian 30 Agustus 1925 itu seharusnya mereka menonton pacuan kuda bersama. Kemudian esoknya makan surabi berdua. Kemudian esoknya lagi dan esoknya lagi membuat agenda baru untuk dijalani bersama.

Jika saja 30 Agustus 1925 lalu ia melarang Baskara bepergian, mungkin ia sudah dapat mengungkapkan perasaan yang lama dipendamnya kepada sang pujaan hati. Bukan kabar duka yang membuat nadinya hampir mati. Kemudian puluhan tahun menyendiri dengan perih di hati. Kemudian puluhan tahun meminta kepada Tuhan untuknya kembali.

“Baskara, ik hou van je. Jika saya memiliki kesempatan kedua atau ketiga atau bahkan keseratus, saya akan tetap memilih untuk jatuh cinta dengan kamu.

“Semoga di kehidupan selanjutnya kamu masih mengenali saya, ya? Dan semoga di kehidupan selanjutnya, saya bisa menyelamatkanmu.”

*

CATATAN:

[1] Selamat siang

[2] Jalan Braga

[3] Julukan Braga. Artinya: Kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda

[4] Tidak

[5] Orang pribumi. Merupakan strata terendah pada masa kolonial Belanda

[6] Perlahan

[7] Kamu bicara apa?

[8] Penjahit

[9] Pakaian menurut ukuran pemakai

[10] Orang Eropa kelas menengah ke atas

[11] Serabi

[12] Tidak tahu

[13] Saya cinta kamu

error: Content is protected !!