Aku menatap bangunan besar dari masa kolonial yang masih berdiri tegak dipinggir jalan utama Kota Bandung, tepatnya Jalan Merdeka. Tanpa ragu aku pun memasuki bangunan tersebut yang pagi menjelang siang itu tampak ramai. Tampaknya misa pagi baru saja selesai, dan baru sore nanti akan ada misa berikutnya, jadi aku tidak akan sempat mengikuti misa di gereja bersejarah ini karena harus kembali ke rumah. Aku pun memutuskan untuk berdoa saja di dalam gereja ini. Aku celupkan sedikit jariku ke dalam air suci, dan membentuk tanda salib sambil setengah berlutut, lalu duduk di salah satu bangku gereja. Aku berlutut, kusatukan kedua tanganku dan memejamkan mata. Aku mulai berdoa,” Tuhan Yesus, hanya kepada-Mu lah aku memohon, persatukanlah aku dengan Thomas dalam berkat-Mu agar kami bisa bersama-sama menjalani kehidupan di dunia ini dalam waktu dekat. Lindungilah Thomas selalu ya Tuhan. Atas nama Bapak, Putera dan Roh Kudus, Amin,” aku pun membuat tanda salib di dada untuk mengakhiri doa. Seusai berdoa, aku duduk di bangku dan melihat bangunan gereja tersebut.

Aku selalu menyukai arsitektur gereja tua, selain untuk berdoa juga untuk melihat arsitekturnya. Karena itu, sebisa mungkin aku selalu meluangkan waktu untuk berdoa atau mengikuti misa di katedral atau gereja katolik ketika berada di suatu kota untuk kerja atau liburan. Aku merasakan suasana khusyuk dan tenang menyapa umat yang akan berdoa, beribadat, atau sekedar melihat-lihat interior dan arsitektur gereja. Ruangan dalam gereja terlihat luas, ada banyak deretan bangku panjang sampai ke bagian belakangnya sehingga mampu menampung hampir ratusan umat. Di dinding gereja, lukisan bergaya barok menggambarkan jalan salib, berjumlah 14 membuat suasana terasa sakral.

Saat ini aku tengah berada di gereja katedral kota Bandung bernama Gereja Katedral Santo Petrus. Berlokasi di jalan Merdeka (Schoolweg), gereja katolik ini dirancang oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker atau dikenal dengan nama Ir.C.P.Wolff Schoemaker, dan dianggap sebagai ‘masterpiece’ nya beliau. Di bangun pada tahun 1921 awalnya lokasi merupakan peternakan yang kemudian dijadikan bangunan gereja. Artinya tahun ini bangunan hampir berusia 100 tahun. Katedral yang sudah berusia tua tersebut memiliki arsitektur dengan gaya neo-gothic akhir. Dari sejarah mengenai katedral yang pernah aku baca, katedral berukuran besar ini merupakan perombakan dari gereja katolik yang berukuran kecil. Dikarenakan bertambahnya jumlah umat yang beribadat di gereja, maka kebutuhan untuk ruang yang berukuran besar pun diperlukan. Karena itu pada tahun 1921 dibangunlah katedral ini, dan diberkati oleh Mgr.E.Luypen pada 1922. Luas katedral ini mencapai 785 m persegi, dan menjadi gereja katolik terbesar di kota Bandung, sekaligus tertua.

Aku bermimpi untuk melakukan pemberkatan pernikahan di sini, tapi kemungkinan besar tidak bisa karena Thomas, kekasihku saat ini lebih memilih tempat pemberkatan pernikahan di Bogor, tempat tinggalnya. Dulu, sebelum Thomas bertugas di Ambon, kami nyaris tidak pernah absen misa bersama, kadang-kadang berdua, kadang-kadang dengan mama nya Thomas. Tapi lebih sering berdua, karena mama nya Thomas sudah pergi dengan temannya atau papa nya Thomas. “Thomas”, ucapku dalam hati, betapa aku sangat merindukannya. Sudah dua tahun lamanya Thomas bertugas di Ambon sebagai manajer dari sebuah bank, dan sejak itu kami hanya bertemu dua kali. Langkanya waktu kami bertemu membuat kami sering salah paham, apalagi komunikasi kami tidak selancar awal-awal hubungan jarak jauh ini. Aku mulai merasakan adanya banyak perbedaan pandangan dalam segala hal yang sering membuat kami jadi semakin ragu akan hubungan ini. Karena itu, aku berharap dengan berdoa di katedral ini, tempat aku misa sejak aku mengimani Tuhan Yesus, doa ku untuk hubunganku dengan Thomas bisa terjawab. Aku menghela nafas, dan berjalan pelan menuju pintu keluar katedral. Di halaman gereja terlihat taman tempat muda-mudi bisa duduk dan mengobrol. Aku jadi mengingat tiga tahun lalu, saat aku dan Thomas pernah duduk di salah satu taman, dan mengobrol tentang kami. Kami mengobrol setelah misa bersama di katedral ini tepat satu tahun saling mengenal. Sejak obrolan yang hangat sore itu, kami pun memutuskan untuk bersama sampai hari ini. Aku pun duduk di salah satu bangku taman, dan menikmati sendiri suasana gereja di pagi ini.

Saat tengah tercenung mengingat kebersamaan dengan Thomas dan menikmati suasana gereja, tiba-tiba lenganku ditepuk seseorang. Aku menengok ke samping, ternyata Asti teman dekatku ketika SMA. “Asti?” teriakku pada Asti dan langsung memeluknya. “Kamu kemana saja, nggak pernah kelihatan,” ucap Asti sambil melepaskan pelukanku. “Aku sudah pindah ke Bogor sejak kuliah. Tapi Mami aku masih tinggal disini,” ucapku menjawab pertanyaan Asti.”Oh pantesan, kamu nggak pernah kelihatan di acara-acara teman SMA kita,” ucap Asti mendengar jawabanku. Aku pun tersenyum. “Eh kamu kok sendirian, mana suamimu?” tanya Asti tiba-tiba. Aku menggeleng dan berucap,” Aku belum menikah, masih single. Kamu sendiri bagaimana?” “Oh, aku sudah menikah, anakku satu perempuan, tapi aku sudah pisah dengan suamiku. Dia selingkuh dengan mantan pacarnya” ucap Asti dengan pelan.” I’m so sorry ya. It’s must hard for you dan anakmu,” ucapku dengan nada prihatin. Asti mengangguk dan berucap,” Sekitar setahun kami berusaha berjuang untuk bertahan hidup tanpa dia, dan Puji Tuhan, semuanya berjalan baik. Kami lebih baik tanpa dia An.” “Syukurlah” ucapku mendengar ucapan Asti. “Eh, kamu mau kemana sekarang ini?” tanyaku pada Asti. “Nggak kemana-mana, anakku kebetulan lagi mau menginap di rumah eyangnya, jadi aku sendirian. Mau ngajakin kemana?” tanya Asti. “Kita keliling Bandung yuk, ke tempat-tempat kita dulu main. Bagaimana?” ucapku menjawab pertanyaan Asti. Asti tersenyum dan berucap,” Wah boleh, kebetulan aku lagi pinjam mobil kakakku. Kita bisa mampir ke rumah teman-teman kita yang masih tinggal disini” “Ok, sip. Kita jalan sekarang?” ucapku pada Asti sambil beranjak dari dudukku. Asti mengangguk dan menggandeng tanganku menuju ke parkir mobilnya. Maka hari itupun kami bernostalgia berkeliling kota kelahiranku.

Tempat pertama yang kami datangi tentunya adalah sekolah kami. Sekolah kami, SMA 3 yang berlokasi di Jalan Belitung. Bangunan kolonial ini dirancang oleh Ir.C.P.Wolff Schoemaker, arsitek perancang katedral, dulu merupakan gedung Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS), yaitu sekolah menengah untuk bangsa Belanda dan kalangan ningrat Indonesia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1806, pada zaman Jepang bangunan ini difungsikan sebagai markas/tangsi tentara Jepang dan di masa kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1947 sampai 1950, bangunan digunakan untuk Sekolah VHO (Voortgezet Hoger Onderwijs), sekolah setaraf SMA berbahasa Belanda pada pagi hari, dan Sekolah VHO berbahasa Indonesia pada sore hari. Mulai tahun 1950 itulah VHO menjadi SMA Negeri sampai sekarang. Sayangnya karena hari ini Minggu, dan tampaknya tidak ada kegiatan ekstra kurikuler pada hari ini, maka gedung sekolah tutup. Aku dan Asti hanya bisa menikmati sekolah kami dari luar saja. Kami pun duduk di trotoar depan sekolah sambil bercerita masa SMA dulu.

Setelah beberapa lama kami pun melanjutkan perjalanan kami. Tujuan selanjutnya yaitu Museum Geologi dan Museum Pos dan Giro. Kenapa kesana? Sebab di sanalah aku dan Asti semakin akrab dan menjalin persahabatan sampai sekarang. Jadi ceritanya, SMA kami mengadakan kegiatan di luar sekolah untuk pelajaran biologi. Kami pun mengunjungi Museum Geologi. Waktu itu aku dan Asti belumlah akrab, tapi kemudian Miss Anne guru biologi kami meminta kami dalam satu kelompok bersama tiga orang murid lainnya untuk membuat makalah dari koleksi di Museum Geologi. Dalam kelompok kami tersebut hanya kami berdualah yang perempuan, sedangkan tiga lainnya laki-laki, yaitu Gigin, Andrian dan Heru. Otomatis kami berdua pun cepat akrab dan sejak itu kemana-mana bersama, termasuk ketika menonton di bioskop dengan pacar kami masing-masing. Sejak tugas kelompok itu, kami berlima menjadi dekat, dan akhirnya Heru meminta aku menjadi pacarnya, dan Gigin meminta Asti menjadi pacarnya. Kelompok kami waktu itu menulis mengenai hewan purba yang kerangka nya ditemukan di museum ini. Bangunan museum geologi bergaya art deco yang dirancang oleh Ir.H.M.van Schouwenburg dibangun pada tahun 1928. Bernama resmi Geologisch Laboratorium, didirikan untuk tujuan tempat dokumentasi contoh batuan, mineral dan fosil yang dikumpulkan para ahli geologi pada masa pemerintahan kolonial Belanda dari berbagai tempat di nusantara. Museum Geologi ini berlokasi di Rembrandt Straat, yang sekarang bernama Jalan Diponegoro.

Puas mengelilingi Museum Geologi sambil bernostalgia tentunya, aku dan Asti pun menyebrang menuju ke Museum Pos Indonesia. Dulu kami memiliki hobi bersurat-suratan dan bertukaran kartu pos dengan sahabat pena di luar negeri, karena itu kami sangat senang berkunjung ke Museum Pos Indonesia. Disini kami senang sekali melihat koleksi Museum Pos dan Giro berupa perangko, alat-alat untuk kantor pos, termasuk baju dinas pegawai pos dan surat-surat berharga, seperti surat yang ditulis para raja di nusantara untuk Gubernur Jendral Inggris Thomas Stamford Bingley Raffles. Asti dan aku mengingat kembali ketika dulu meluangkan waktu untuk menulis surat bersama-sama untuk sahabat pena kami di sela-sela waktu istirahat di sekolah supaya tidak ketahuan orangtua kami. Kemudian mengirimkannya pada waktu pulang sekolah bersama-sama. Kadang-kadang Heru dan Gigin menemani kami, meskipun mereka tidak terlalu menyukai surat-menyurat tetapi mereka mendukung hobi kami yang dianggapnya positif dan menjadikan kami pandai dalam Bahasa Inggris. Jadi ketika ada ujian Bahasa Inggris, mereka bisa minta bantuan kami. Dasar laki-laki, ucap aku dan Asti berbarengan ketika mengingat masa-masa di SMA bersama pacar kami. Bangunan Museum Pos Indonesia ini sudah dibangun sejak masa kolonial, tepatnya pada tahun 1931, dan didesain oleh duo arsitek bernama J.Berger dan Leutdsgebouwdienst. Sejak awal pembangunan, bangunan museum ini sudah dinamakan Museum Pos Telepon Telegrap (PTT), baru di tahun 1995, museum ini dinamakan Museum Pos Indonesia.

Lelah menjelajah dua museum, kami merasa sangat lapar, Asti pun mengajakku untuk makan di salah satu tempat makan yang terkenal di kota ini dan berlokasi di Asia Afrika. Berlokasi di jalan Banceuy, kami pun makan di Warung Kopi Purnama. Asti memesan makanan dari daging babi, sedangkan aku memesan lontong cap go meh, yang merupakan kesukaanku dari dulu. Warung Kopi Purnama bukanlah tempat yang mewah kalau dilihat dari depan. Berada di deretan pertokoan, kesan jadul terasa ketika berada di tempat ini. Tempat ini sudah beroperasi sebagai warung tempat makan sejak tahun 1930an, dengan nama Chang Chong Se, artinya Selamat Mencoba, meskipun bangunan ini sudah dibangun sejak 1923 oleh Jong A Tong, orang Tionghoa Medan yang pindah ke Bandung, dan digunakan sebagai tempat tinggal. Sebenarnya makanan yang khas dari tempat ini yaitu roti selai sarikaya dan kopi nya. Karena Asti dan aku juga penyuka kopi, maka kami pun duduk agak lama di warung tersebut untuk kemudian memesan kopi dan roti selai sarikaya nya. Wah mantap rasanya, kami pun merasa agak kekenyangan ketika meninggalkan warung tersebut. “An, kita jalan-jalan ke Braga yuk, buat hilangin lemak makanan tadi. Rasanya terlalu banyak kita makan tadi,” ucap Asti sambil berjalan keluar. “Setuju As, sudah lama nggak kesana” ucapku menanggapi ucapan Asti. Dan kami pun menuju ke Braga.

Braga, sebuah daerah yang terkenal di Bandung sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial. Julukan “De meest Europeesche winkelstraat van Indie” atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Bermula dari seseorang bernama C.A.Hellerman yang mendirikan toko senjata api pada tahun 1894, dia pun mulai membangun beberapa toko di Braga dan menjualnya pada para pengusaha Eropa. Braga pun menjadi pertokoan segala barang, mulai pakaian, rokok atau cerutu, arloji, alat potret, alat kantor, gramaphon, meja bilyar, perhiasan, mobil sampai makanan. Namun semuanya hanya tinggal kenangan. Braga sekarang banyak diisi oleh bangunan-bangunan lama kosong dan beberapa yang masih ditempati kantor atau toko. Asti dan aku pun lebih banyak berfoto-foto di kawasan tersebut, terutama di bangunan yang menjadi lokasi shooting film “Madre”, yang diadaptasi dari novel karya Dewi “Dee” Lestari. Nama Braga sendiri diambil dari nama perkumpulan Tonil “Braga” yang didirikan Pieter Sijthoff pada 18 Juni 1882. Perkumpulan Tonil “Braga” bermarkas di gedung Societeit Concordia yang berada di ujung jalan, kini disebut dengan Gedung Merdeka. Societeit Concordia juga digunakan sebagai tempat pertemuan atau tempat khotbah Kristen Protestan, dan hanya menerima orang Eropa berpangkat tinggi, non Eropa yang dipersamakan dan pemuka masyarakat.

Di tahun 1921, bangunan Societeit Concordia dirombak menjadi gedung pertemuan mewah dan modern oleh perancang C.P.Wolff Schoemaker dengan gaya art deco. Tahun 1940, bagian sayap kiri bangunan direnovasi oleh perancang A.F Aalbers dengan gaya arsitektur International Style. “Sayang ya As, bangunan indah di sini banyak tidak terawat,” ucapku sambil berjalan bersama Asti di trotoar Braga. “Iya, tapi ini sudah agak lebih terawat daripada jaman kita sekolah. Ingat nggak An, waktu kita pernah jalan-jalan disini, terus kita ketakutan pas ketemu orang gila di sekitar sini, dan kita lari terus sampai nggak lihat-lihat lagi,” ucap Asti sambil tertawa. Aku pun tertawa mendengar ucapan Asti dan jadi mengingat lagi masa-masa indah kami. Dulu kami juga sering makan roti dan es krim di Sumber Hidangan, salah satu tempat makan yang sudah ada, yaitu sejak tahun 1929. Bangunan tempat makan ini dulu bernama Het Snoephuis juga masih bergaya kolonial. “Sayang ya Sumber Hidangan tutup pas hari Minggu,” ucapku pada Asti. “Iya, padahal aku mau makan es krim nya,” ucap Asti sambil tersenyum. “Hah, kamu memang belum kenyang?” tanyaku mendengar ucapan Asti. “Sudah sih tapi pengin aja, mengingat masa lalu,” ucap Asti menjawab pertanyaanku. Kami pun berdua tertawa. Puas berjalan-jalan kami pun mendaratkan tubuh kami di sebuah tempat bernama Rasa Bakery dan Café. Toko roti juga menyajikan es krim seperti Sumber Hidangan, dan buka di hari Minggu. Toko roti ini berada di bangunan berlantai dua, bernama Hazes Shop & Café. Asal nama ini berasal dari nama pabrik yang memproduksi permen dan gula-gula kemudian memproduksi roti, bernama C.H.Hazes pada tahun 1936. Produk roti ini sangat disukai oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tahun 1960, Hazes ini di beli oleh PT.Rasa sehingga namanya menjadi Rasa Bakery & Café. Disini kami pun makan lagi, tidak hanya es krim banana split nya tapi juga memakan mie tek tek. Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi sambil berucap,” Wah, seharian ini benar-benar nostalgia, makasih ya As, sudah menemaniku” Asti tersenyum dan berucap,” Nggak apa-apa, aku juga senang kita bisa ketemu dan jalan-jalan lagi kayak jaman SMA dulu. Eh, omong-omong bagaimana kamu dengan pacarmu? Kapan kamu menikah?” Aku menggeleng dan berkata,”Nggak tahu As. Aku masih bingung. Pacarku, Thomas sedang bekerja di luar Jawa, di Ambon, dan aku nggak tahu kapan akan kembali. Kami pun sudah jarang berkomunikasi sekarang” “Maaf An, semoga hubunganmu dengan Thomas baik-baik saja, dan kalian akan bisa menikah segera. Pemberkatan tentunya di katedral sini kan? Secara itu kan impianmu sejak dulu” ucap Asti kemudian. “Itu juga aku nggak tahu As. Thomas menginginkan kami melakukan pemberkatan di katedral Bogor dekat tempat tinggal kami,” ucapku menjawab Asti. “Oh begitu, semoga impianmu terwujud ya, dan Thomas bisa menerimanya,” ucap Asti lagi. “Amin,” ucapku menanggapi ucapan Asti. “Eh sudah malam, yuk kita pulang. Kamu pulang kemana?” tanya Asti sambil beranjak dari duduknya. “Ok, aku nginep di rumah oma. Jalan gunung, kamu masih inget kan?” ucapku sambil beranjak dari dudukku. “Iya masih inget lah, dulu kan kalau kamu lagi berantem sama mami kamu terus kamu kabur nya ke rumah oma,” ucap Asti sambil tersenyum. “Ah kamu masih inget aja ya. Ok, aku mau beli beberapa roti untuk oma dulu ya,” ucapku sambil berjalan menuju kasir untuk membeli roti. Tak lama kami pun sudah berjalan menuju rumah omaku. “Terima kasih ya As untuk semuanya, semoga kita bisa ketemu lagi ya”ucapku sambil memeluk Asti begitu kami sampai di rumah oma. “Sama-sama An, kita harus jalan-jalan lagi suatu saat,” ucap Asti. Dan ternyata itu saat terakhir kami bertemu, karena Asti meninggalkan dunia ini karena Covid-19 sebelum kami sempat bertemu lagi. (Selesai)

About the author: diyah
Tell us something about yourself.
error: Content is protected !!