Kedua bola mataku dipenuhi oleh katak yang berlompatan di antara meja dan cuilan kamera tua. Suaranya memekakkan telinga dan aromanya benar-benar mampu menguras isi perut. Pita bekas film berserakkan di lantai berbaur dengan pecahan piring dan gelas, lengkap dengan sisah makanan yang telah mengering. Katak-katak itu tidak memakannya, tapi membasahinya dengan lendir mereka. Lendir-lendir itu juga membasahi potongan poster film yang terlepas dari dinding ruangan. Ada yang sengaja dirobek, tapi ada juga yang masih utuh. Sambil menahan mual dan pusing, kubaca isinya. Poster-poster itu berisi iklan film “Euis Atjih”, “Njai Dasimah”, “Huwen op Bevel”, dan “Karnardi  Anemer Bangkong”. Judul terakhir benar-benar membuat tanganku bergetar dan bertanya-tanya, “Apakah Tuhan telah menjatuhkan tulah pada Pangeran Layar Tancap Kota Kembang?”

***

Pertanyaan demi pertanyaan ditujukkan kepadaku silih berganti setelah aku mengunjungi Studio Krugers Film Berdrijf. Studio film kuno yang dijuluki sebagai rumah katak karena dipenuhi oleh katak. Beruntung karena Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V mengutus Kang Asep, salah satu pengawal terbaiknya untuk mengawalku mengambil data di studio kuno itu dan mengantarkanku ke Kantor Bupati.

“Tuan Heuveldorp, coba ceritakan pengalamanmu ketika kau mengunjungi studio film milk Krugers!” pinta Bupati.

“Saya melihat banyak sekali katak di studio itu entah darimana datangnya, tapi saya menduga katak-katak itu dikirim oleh orang yang protes pada penayangan film Karnardi Anemer Bangkong, sekitar enam tahun silam!”  pendapatku.

“Film Karnardi Anemer Bangkong merupakan film bersuara pertama yang dibuat di Indonesia, harusnya ini menjadi kebanggaan bagi warga Bandung, tapi sayangnya semua berbanding terbalik” ujar Tuan Bupati.

Lelaki itu kemudian berdiri, berbalik ke belakang dan terdiam untuk beberapa saat. Aku tahu, ia sedang berusaha tegar dan menyembunyikan amarahnya. Siapa yang tidak marah jika mengingat adegan dalam film Karnardi Anemer Bangkong. Pada film itu, ada adegan yang menunjukkan seorang lelaki memakan katak mentah. Tentu ini bukan lelucon melainkan penghinaan yang teramat dasyat bagi warga Bandung dan sekitarnya yang saat itu memadati Gedung Bioskop Oriental.

Bagi Bupati, ini merupakan nila yang diteteskan Krugers di tengah susu sebelanga yang dibangun dengan susahpayah oleh sang Bupati. Sembilan tahun sebelum Karnardi Anemer Bangkong ditayangkan, aku tahu betul usaha Bupati untuk mementaskan cerita Loetoeng Kasaroeng di Kongres Jawa. Berkat pementasan itu, para petinggi baik dari pihak Belanda maupun para petinggi di Pulau Jawa dan sekitarnya mendukung Loetoeng Kasaroeng difilmkan dan dijadikan sebagai film buatan pribumi pertama.

Bagai gayung bersambut, Raja Bioskop Bandung, F.F.A Buse selaku pemilik Gedung Bioskop Oriental dan Ellite, menyambut baik usaha itu. Dukungan juga datang dari Pangeran Bioskop Kota Kembang, Krugers. Keponakan dari Buse itu mengajakku untuk terlibat dalam proses pembuatan Loetoeng Kasaroeng dan kami sepakat untuk membuatnya.

Tepatnya pada malam tahun baru menjelang 1927, film ini diputar di Bioskop Oriental dan Elite. Film ini sukses menarik minat warga Bandung dan juga pembesar Belanda untuk menyaksikanya. Berbagai surat kabar yang terbit di Bandung seperti Kaoem Moeda dan De Preanger Post ikut meramaikan. Aku, Tuan Bupati, dan Krugers tahu betul bahwa kualitas film ini masih jauh dengan film impor yang merajai bioskop di Batavia dan Soerabaia. Kami mendapatkan rasa bangga tiada banding ketika  Loetoeng Kasaroeng berhasil ditayangkan. Ini juga menjadi torehan emas bagi Tuan Bupati dan berharap agar film bernuansa pribumi semakin banyak. Namun harapanya yang melambung tinggi itu telah hancur lebur. Itulah sebabnya aku begitu paham perasaanya saat ini.

“Tuan Heuveldorp! Tuan! Apakah Anda mendengar Saya?” ucap Bupati membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk dan berdiri seketika bersikap siap.

“Oh duduklah Tuan, tidak apa apa santai saja” ucapnya sambil tersenyum memegang kedua bahuku agar aku duduk kembali.

Ia lalu memanggil Asep, ajudanya yang  tadi mengantarku. Kemudian berbicara pada Asep menggunakan bahasa Sunda yang aku kurang memahami artinya. Asep mengangguk lalu mengambil koper berwarna hijau. Koper itu terlihat rapi dan bersih. Di atasnya ada secarik surat yang kemudian diberikan kepadaku.

“Tuan Heuveldorp, bawalah koper ini dan pergilah bersama Asep menuju salah satu penginapan di sekitar Braga Weg” kata Bupati.

“Terima kasih karena Tuan begitu baik pada Saya, semoga cita-cita Tuan untuk menjadikan Bandung sebagai tonggak film di Indonesia dapat terwujud” doaku padanya.

“Terima kasih Tuan Heuveldorp, mimpi dan cita-citaku telah dirusak oleh orang-orang yang serakah, sekarang masih belum terlambat! Kuserahkan semuanya padamu!” ujarnya sembari memberikan koper ini.

Aku tak terlalu paham maksudnya, tapi Asep menganggukkan kepala padaku seolah mengisyaratkan bahwa di perjalanan nanti dia akan menceritakan semuanya.

***

Perjalanan dari Kantor Bupati menuju Braga Weg kami tempuh dengan kereta kuda milik Bupati. Di dalam kereta itu hanya ada aku, Asep, dan kusir. Asep kemudian meminta kusir untuk mengarahkan kuda ke alun-alun kota sebelum menuju Braga Weg. Aku diam dan menurutinya. Kuingat anggukkan kepalanya yang meyakinkan tadi di Kantor Bupati.

“Dulu, sekitar tahun 1907 di sini ada dua bioskop yaitu Crown Bioscop milik Helant dan Oranje Electro Bioscop milik Michel, keduanya dibangun menggunakan tenda semi permanen” ucap Asep menjelaskan.

Aku hanya mengangguk mendengarkan pemaparannya. Asep lalu melanjutkan lagi, “Keduanya berangsur surut seturut kehadiran Raja Bioskop, F.F.A Buse yang berhasil membangun bioskop permanen”.

“Persaingan bioskop di Bandung sejak dulu begitu ketat ya?” timpalku.

Asep tak menggubris pertanyaanku yang terkesan basa-basi itu, dia lalu melanjutkan ceritanya. Kali ini dengan mimik serius dan suara yang lebih dalam. “Sejak dulu film di Bandung diputar tanpa suara. Butuh komentator dan orkes pendamping ketika film diputar, meski seringkali komentar yang disampaikan dan musik yang dimainkan kurang pas dengan adegan film”

Ia menarik nafas panjang lalu menatapku dan berkata, “Seorang komentator terkenal bernama Mang Saip, jasanya sering digunakan saat pemutaran film bisu di Feestterein Orion”.

“Aku pernah mendengar nama itu!” timpalku.

“Banyak orang berkata bahwa katak-katak yang memenuhi studio Krugers adalah kutukan Mang Saip!” tegas Asep.

Setelah Asep berucap demikian, ada keheningan yang panjang di antara kami berdua. Kehadiran film bersuara memang sedikit banyak berpengaruh pada film bisu. Masifnya Carles Hugo dari Fox Film Corporation untuk mengenalkan perlatan film bersuara bernama Hugo Apart dari kota ke kota membuat popularitas film bersuara menanjak naik dan film bisu kian surut. Bioskop Varia, Concordia, dan Luxor menjadi pilihan Hugo untuk mempromosikan film bersuara di Bandung. Aku masih ingat, Rainbow Man menjadi film bersuara pertama yang diputar di Luxor pada Februari 1930. Masyarakat sangat antusias, bahkan pihak pengamanan sampai kuwalahan dan dibantu oleh polisi. Aku tak menyangka, di balik kemajuan zaman yang begitu pesat dalam teknologi perfiliman ternyata banyak pula manusia yang pendapatanya dimatikan seperti Mang Saip. Mati hingga tak bersuara lagi. Sunyi, sesunyi keheningan di antara aku dan Asep dalam laju kereta kuda menuju Braga Weg.

***

Sesampainya di Braga Weg, Asep memintaku turun di depan salah satu penginapan tua. Ia memberikan koper dan surat dari Bupati padaku. “Tuan, buka surat ini saat kereta kuda Saya tak terlihat lagi” tegas Asep.

Kuanggukkan kepala tanda sepakat lalu kulambaikan tanganku. Kereta kuda melaju kencang dan segera berbelok lalu kubuka isi surat itu.Tak ada yang istimewa, hanya ada pesan bertuliskan ‘Berikan Koper Ini Pada Tamu yang Kau Temui’ dibawah tulisan itu ada angka 1936 dan tanda tangan dari Tuan Bupati .

Aku masuk ke penginapan, mengetuk dua kali kemudian ada seorang penjaga yang membukakan pintu. Kutunjukkan surat berisi angka itu lalu ia pun mengangguk dan memintaku untuk duduk di lobi yang tak terlalu luas. Ia masuk dan membisikkan sesuatu pada penjaga penginapan yang lain. Kemudian, penjaga penginapan tadi naik ke tangga dengan langkah cepat.

“Apa istimewanya angka itu? bukankah sekarang memang tahun 1936?” gumamku.

Tak perlu waktu lama bagi penjaga penginapan tadi untuk kembali turun menemuiku. Namun, kali ini ia tidak turun sendirian. Ada seorang lelaki yang ikut di belakangnya. Lelaki berpostur tinggi, berambut ikal, dan berkumis tebal. Lelaki yang hampir satu dekade lalu berseteru denganku. Lelaki yang kepalanya merupakan berlian bagi orang Belanda tetapi batu bagi warga Indonesia. Ia bukan raja tapi hatinya sekeras Richard The Lion Heart. Ia adalah pangeran baik bagi kawan maupun lawannya. Pangeran Layar Tancap Kota Kembang, G. Krugers.

“Selamat sore Heuveldorp, izinkanlah aku melepaskan beban permusuhan yang menempel di pundakku selama hampir sepuluh tahun” ujarnya memulai pembicaraan.

“Selamat sore Kugers, lama kita tidak berjumpa sejak engkau memutuskan tali persahabatan kita” jawabku.

Krugers tak menjawab. Ia terduduk lemas di kursi. Pandanganya menerawang ke langit seolah ada beban berat yang hendak ia sampaikan. Aku terus menatapnya dan menunggu kata-kata berikutnya yang keluar dari mulutnya.

“Mereka telah berhasil menipuku!” kata Krugers.

“Menipu?” tanyaku.

“Ya, semua proyek yang mereka kerjakan nyatanya bukan untuk mengangkat harkat martabat bangsa ini melainkan justru merendahkanya!” ucap Krugers sambil menunjukkan satu poster film yang dikeluarkan dari kantong celananya.

Kuamati poster itu sambil kulemparkan ingatanku pada isi filmnya. Memang benar yang dikatakan Krugers. Poster pertama, Euis Atjih merupakan film yang berkisah tentang gadis Bandung menikah, menjadi ibu lalu ditinggalkan oleh suaminya. Angka 1927 dan 1928 menunjukkan tahun diputarnya film ini. Bioskop Orient Theater adalah saksi bisu meledaknya film ini setelah sebelumnya diputar di Kota Kembang. Euis Atjih juga diekspor ke Singapura.

“Karena film Euis Atjih, aku jadi gelap mata dan nekat membuat film bersuara dengan tema serupa. Kuhubungi Joehana dan kuminta lagi novel-novelnya agar dapat kuangkat menjadi film” ujar Krugers sambil menunjukkan sebuah novel berjudul Rasiah nu Goreng Putut.

Novel yang terbit tahun 1928 ini diterbitkan oleh Dachlan Bekti dan ditulis oleh Joehana. Novel inilah yang menjadi cikal bakal film Karnardi Anemer Bangkong pada ahun 1930. Sebuah film yang menjatuhkan nama Krugers.

Wajah Krugers memerah, lalu air matanya pecah. Ia seolah ingin menumpahkan semua beban yang diakibatkan oleh film yang diproduksinya sendiri.

“Sabar kawan, semua sudah berlalu!” ujarku menenangkan.

“Kekejaman mereka tak berhenti sampai di situ saja! Mereka benar-benar licik dan kejam!” Krugers melanjutkan ceritanya sambil berurai air mata.

Kali ini dia menunjukkan buku Njai Dasimah karangan G. Francis. Novel ini juga pernah ia filmkan bersama Tan’s Film. Isinya kurang leih tentang seorang Njai bernama Dasimah yang dinikahi oleh pembesar Belanda sehingga tercerabut dari akar keturunan bangsanya. Setelah menikah, dia disia-siakan suaminya dan ditipu oleh lelaki lain yang mengingini hartanya. Dasimah mati mengenaskan di pinggir sungai.

“Tahukah Kau, cerita Njai Dasimah ternyata cerita yang digunakan untuk melemahkan posisi wanita di negeri ini!” Krugers kembali bercerita.

Memang benar apa yang dikatakan Krugers. Pejuang di negeri ini bukan hanya memiliki pria militan, tapi wanitanya juga. Di beberapa daerah malah menggunakan Laswi atau tentara perang perempuan. Kehadiran bangsa penjajah yang selangkah lebih maju mengenal mesin cetak dan perfilman ternyata menggunakan strategi novel dan film untuk melemahkan mental bangsa ini. Sungguh taktik licik yang amat biadab!

“Sesungguhnya aku ingin mengakhiri kerjasamaku di bidang perfilman dengan Tan’s Film tapi kontrakku belum berakhir dan mereka malah memperdayaiku!” sesal Krugers.

“Memperdayaimu?”

“Ya, mereka menggunakan jasa Morris dan Lemmens ketika aku mengerjakan film terakhirku berjudul Heuwen Op Bevel di tahun yang sama!” kata Krugers.

Morris adalah teknisi yang mengerjakan kamera Krugers sedangkan Lemmens adalah pengajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng. Aku juga mengenal mereka berdua tapi aku tak menyangka mereka terlibat dalam proyek film ini.

“Mereka menghancurkanku dengan film Indonesia Malaise, dan aku tak bisa membayangkan di bawah poster filmnya tertulis bahwa jangan menyamakan film ini dengan film bersuara yang telah muncul di Indonesia!” ucap Krugers. Tangisnya pun pecah dan kubiarkan dia mengeluarkan seluruh isi hatinya.

“Semua masih bisa diperbaiki Krugers!” ujarku meyakinkan.

Ia menggelengkan kepala dan menunjukkan sebuah tiket kapal menuju Hongkong yang akan berangkat pekan depan. “Tak bisa! Aku akan memulai semuanya di Hongkong! Aku merasa bersalah pada negeri ini!”

Kini tatapan matanya tajam. Kulihat tekadnya cukup bulat dan pasti ia sudah mempertimbangkan secara matang. Tugasku hanya meyakinkanya saja dan memberikan koper pemberian Bupati padanya.

“Krugers, ini ada koper dari Tuan Bupati. Untukmu!” kusodorkan koper itu dan diambil oleh Krugers. Dibukanya perlahan dan betapa kagetnya ia melihat isi kopernya. Dalam koper itu tertulis

Terima kasih Pangeran Film Kota Kembang.

Air mata Krugers kembali pecah, kali ini ia menangis haru. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin ia sadar bahwa bangsa ini begitu pemaaf dan ramah. Dibukanya satu persatu isi koper. Semua berisi tentang Loetoeng Kasaroeng, mulai dari foto saat proses pengambilan gambar, proses di balik layar, poster film, dan satu pita film utuh. Krugers lalu mengemasnya dan mendekap erat-erat koper itu dalam derai air mata. Tak ada yang tahu seberapa besar cinta Pangeran Film Kota Kembang ini terhadap perkembangan layar tancap di Indonesia, khususnya pada Bandung yang kelak menorehkan namanya dalam sejarah perfilman Indonesia.

About the author: Ardi S.
Penuis Sastra Sejarah
error: Content is protected !!