Cuaca yang panas tidak menyurutkan semangat Nina untuk mengikuti studi tur ke Ibu Kota. Sebagai pelajar yang besar di Bandung, Jakarta merupakan kota yang asing untuknya. Ia hanya mendengarkan sejumlah cerita mengenai kota tersibuk di nusantara itu dari kakak-kakaknya. Akhirnya Nina yang kini duduk di kelas satu sekolah menengah atas itu menginjakkan kaki di Kota Jakarta.

Matanya tidak berkedip saat melihat bangunan-bangunan lama di kawasan Kota Tua Jakarta. Ia teringat dengan koridor Jalan Braga di Bandung yang telah membuat hatinya berdebar. Keromantisan kota tua selalu berhasil membawa Nina berimajinasi ke dimensi yang berbeda. Ia pun tidak membuang kesempatan untuk mengabadikan keindahan lanskap kota tua dengan kamera teleponnya.

“Nah ini namanya daerah Kali Besar. Zaman dulu, area ini  terkenal dengan De Groote Rivier Batavia,” sebut Kak Alisa, pemandu wisata yang juga alumnus SMA tempat Nina bersekolah.

“Wah, bagus ya. Kita bisa foto-foto disana tidak, kak?” tanya Nina terpana melihat jalan setapak yang dibangun di atas sungai.

“Bisa dong. Sebentar lagi bis kita akan parkir di depan sana. Nanti kita kasih waktu sepuluh menit untuk foto-foto,” ujar Kak Alisa. Gadis berambut panjang itu mengikat rambutnya yang indah ke atas.

Nina mengikuti langkah Kak Alisa dengan semangat. Ia terpana melihat keindahan bangunan-bangunan lama yang masih berdiri tegap di kiri kanan Kali Besar.

“Kalian tahu revitalisasi kawasan ini terinspirasi dengan Sungai Cheonggyecheon di Korea,” Kak Alisa kembali memberikan penjelasan seputar perkembangan Kali Besar.

“Wah, iya aku pernah lihat di TV, emang bagus!” tukas Leon, ketua kelas 1-3.

Nina melirik ke arah pemuda yang sudah lama dikaguminya itu. Leon White, keturunan Inggris-Indonesia yang menjadi idola seantero SMA. Siapa yang tidak terpana melihat mata biru Leon yang indah. Namun yang membuat pesona Leon bertambah adalah kelihaiannya berbahasa Indonesia dan Sunda meskipun dirinya besar di London.

“Awas matanya jatuh ke sungai,” goda Kak Alisa. Rupanya gadis berambut panjang itu memperhatikan tatapan Nina yang tidak biasa.

Nina tersipu malu.

“Ganteng ya, ga heran kalau kalian pada ngecengin, emang gantengnya kelewatan,” ujar Kak Alisa ceplas-celos.

“Cuma bisa jadi PJJ kak,” jawab Nina cengengesan.

“PJJ? Pembelajaran jarak jauh?”

“Pengagum jarak jauh, kak.”

Kak Alisa terpingkal. Ia tidak mengira ada istilah baru yang terlontar dari mulut Nina.

“Mau kucomblangin?” tanya Kak Alisa.

“Hah? Gimana caranya? Lagian ga mungkin kak, anak ganteng gitu bakal ada rasa sama aku,” tolak Nina.

Well, let’s see. Biasanya kalau ada kegiatan bersama, lebih mudah untuk saling mengenal.”

Kak Alisa rupanya memiliki ide untuk mendekatkan Nina dan Leon. Ia mengumumkan sebuah lomba kontes foto bangunan tua yang harus dilakukan secara berpasangan.

Ia pun memasangkan Nina dan Leon.

“Coba kamu dan anak ini barengan ya huntingnya. Nanti di bis, kamu duduknya sebelahan.”

Wajah Nina memerah.

Kenapa Kak Alisa agresif sekali, batinnya.

Boro-boro keluar suara, menatap wajah Leon yang mirip seperti dewa turun dari langit saja ia tidak mungkin mampu.

Setelah memasangkan seluruh peserta, Kak Alisa mengajak semuanya kembali ke bis.

“Ok, saya izinkan kalian browsing info di hape. Nanti di akhir acara, kalian presentasi. Lima pasangan yang foto dan narasinya paling menarik akan saya traktir,” seru Kak Alisa dengan mata berbinar. Ia melirik ke arah Nina dan memberikan semangat ala drama Korea Selatan. “Hwaiting,” ujarnya pelan.

Jujur saja, Nina benar-benar canggung.

Ketika Leon mempersilahkannya untuk duduk di pinggir jendela, hatinya berdebar sangat kencang.

Berbagai kekhawatiran terlintas di kepala Nina.

Bagaimana kalau bau mulutnya ternyata membuat Leon hilang simpati padanya?

Ia mengutuk acar bawang yang dikonsumsinya saat makan siang tadi.

“Nina, ayo kita coba untuk memenangkan lombanya,” ujar Leon memulai pembicaraan.

Nina mengangguk pelan. Ini adalah kali pertamanya ia berbicara langsung dengan sang ketua kelas.

Gadis itu bisa merasakan tatapan iri dari teman-teman sekelasnya. Wajar saja, duduk di sebelah Leon adalah impian para gadis-gadis di sekolah. Mereka sempat kesal karena Leon memilih duduk bersama Pak Anton, sang wali kelas.

Leon mulai berselancar di dunia maya. Hati Nina semakin bergetar. Wajah serius Leon terlalu berbahaya untuk ia pandang. Semakin serius Leon membaca, semakin jatuh pula Nina dalam pesona pemuda berambut cokelat tersebut.

“Nin,” panggil Leon dengan suara bassnya.

Nina hampir pingsan. Suara Leon sangat indah di telinganya. Gadis itu berupaya sekuat tenaga agar tidak kehilangan kesadaran.

“Eh abis ini kita bakal ke Museum Fatahillah kan?” tanya Leon memastikan.

Nina membaca agenda perjalanan mereka hari ini. Gadis itu mengangguk. Ia belum berani menatap wajah Leon secara langsung.

“Ini ada mitos seru tentang meriam yang ada disana. Bagaimana kalau ini saja yang jadi obyek foto kita?”

“Mitos me-riam?” tanya Nina terbata-bata.

Ia mengutuk dirinya yang tidak punya nyali untuk berbicara lantang di hadapan Leon.

“Iya, meriam si jagur. Ada legendanya yang menarik, mau dengar?” tanya Leon.

Nina mengiakan pertanyaan pemuda itu. Ia tanpa sengaja menatap bola mata Leon yang biru. Gadis itu buru-buru menunduk. Ketampanan Leon benar-benar membuatnya tidak berkutik.

“Nih ya katanya meriam ini sebenarnya sepasang suami istri. Mereka diminta oleh Raja Padjajaran untuk mencari senjata ampuh yang muncul di mimpi sang raja. Kalau mereka gagal, maka mereka akan dihukum mati.”

“Ih kok sadis?” timpal Nina.

“Ya akhirnya mereka bersemedi di rumahnya. Kemudian sang raja mendapatkan sepasang meriam di rumah tersebut. Namun jejak Kiai Setomo dan Nyai Setomi, nama sepasang suami istri, itu tidak ditemukan.”

“Wah, terus?” Nina terserap dalam cerita Leon.

“Sultan Agung mendengar berita tersebut lalu meminta kedua meriam tersebut dibawa ke Mataram. Namun meriam yang konon merupakan penjelmaan Kiai Setomo menolak. Meriam ini berpindah sendiri ke Batavia. Sedangkan meriam yang merupakan penjelmaan sang istri, dibawa ke Solo.”

“Beneran itu?” tanya Nina.

“Who knows, mungkin hanya mitos.”

“Tapi kasihan ya, pasti sedih mereka karena dipisahkan,” tiba-tiba air mata Nina mengalir dari sudut matanya.

“Eh kamu kenapa?” Leon mengambil sapu tangan dari sakunya. Ia memberikan sapu tangan itu ke tangan Nina.

“Sedihhhhh, demi sang raja, mereka harus berubah jadi benda mati terus terpisah sampai sekarang.”

Tangis Nina tumpah. Ia bersimpati pada nasib Kiai Setomo dan Nyai Setomi. Suara isak tangis Nina mulai mengundang perhatian teman-teman sekelasnya.

Mereka sampai mengira jika Leon mengucapkan kata-kata kasar yang membuat hati Nina terluka.

“Nggak, nggak, jangan pada salah sangka. Nina cuma sedih denger cerita mitos kok,” jelas Leon dengan wajah pucat.

***

Nina mengusap pipinya dengan sapu tangan milik Leon. Ia meminta maaf karena air matanya tidak bisa berhenti dengan mudah.

“Kamu sih pake cerita sedih, aku tuuu orangnya ga bisa nonton atau denger cerita mellow-mellow atau yang tragis. Bisa banjir air mata,” terang Nina.

Leon tersenyum.

“Berarti kamu hatinya lembut,” ujar pemuda itu pelan.

Nina tersipu. Kata-kata Leon membuat hatinya berdebar semakin kencang.

“Ya udah kalau gitu, kita coba ambil foto dari berbagai angle ya,” ajak Leon yang ternyata juga memiliki hobi fotografi.

Keduanya kemudian mulai mengambil foto meriam si Jagur dengan serius. Mereka berpindah lokasi untuk mendapatkan angle terbaik.

Sementara mereka fokus pada meriam tersebut, peserta yang lain sibuk memotret bangunan Museum Fatahillah yang penampakannya sangat indah dan klasik.

“Pilih yang mana?” tanya Leon serius.

Kedua insan itu duduk di taman tengah museum. Sambil menunggu acara penutupan yang akan dilakukan di Kafe Batavia, Leon berdiskusi mengenai narasi yang akan mereka tampilkan di depan teman-temannya.

“Ini aja setuju Nin?”

Nina mengangguk. Ia menempelkan kepalan tangannya di kepalan tangan Leon.

“Kita pasti bisa menang! Lumayan hemat uang jajan!” tawa Nina ceria.

Leon tersenyum.

“Nice to work with you.”

Nina membalas senyuman Leon. Ia yakin jika narasi mereka akan menarik perhatian Kak Alisa.

***

Kafe Batavia.

Tawa riuh para peserta terhenti saat Kak Alisa dan Pak Anton memulai pidato penutupan acara.

“Semoga hari ini banyak pelajaran sejarah kota yang kalian dapatkan. Kita harus mengapresiasi upaya pemerintah kota yang telah mempreservasi kawasan ini agar kalian semua bisa menikmati peninggalan sejarah masa lalu,” seru Pak Anton lantang.

“Ok, kalau begitu sebelum makan malam dimulai. Saya minta kalian presentasi mengenai foto yang kalian ambil dan kenapa kalian mengambil foto tersebut.”

Satu persatu murid-murid kelas 1-3 menceritakan pilihan foto mereka. Banyak dari mereka yang memotret halaman museum yang menjadi saksi bisu pembunuhan massal di masa lalu. Menurut mereka, sejarah  yang buruk tidak boleh terulang. Hal tersebut harus dijadikan pelajaran bagi para generasi muda agar tidak mudah tersulut berbagai isu yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kini giliran Leon dan Nina yang maju ke depan. Keduanya memperkenalkan foto dengan narasi yang mereka beri judul cinta sepasang meriam.

Leon membuka pembicaraan. Ia mulai mengisahkan pengorbanan Kiai Setomo yang mengubah dirinya dan sang istri menjadi sepasang meriam.

Nina mulai meneteskan air mata. Ketika gilirannya berbicara, suaranya bergetar. Emosi yang ditunjukkan oleh Nina membuat teman-temanya terbawa perasaan. Beberapa dari mereka mulai meneteskan air mata, bersimpati pada Nyai Setomi yang terpaksa berpisah dengan sang suami tercinta.

“Konon jika Kiai Setomo dan Nyai Setomi kembali bertemu, seluruh penduduk nusantara akan berbahagia karena keadilan akan kembali ke tempatnya. Tapi kapankah hal itu akan terjadi? Apakah jika mereka tidak kunjung bertemu, keadilan akan sulit ditegakkan di negeri ini?”

Linangan air mata Nina membuat suasana bertambah haru biru. Pak Anton bertepuk tangan. Ia seperti baru saja melihat pertunjukan opera yang sangat menyentuh. Suara Nina yang menahan tangis dan di saat yang sama menyampaikan pesan-pesan menyentuh membuat pria paruh baya itu turut menangis.

Di luar dugaan, pipi Kak Alisa juga sudah basah dengan air mata. Ia kemudian tanpa ragu langsung mengumumkan pasangan Leon dan Nina sebagai salah satu pemenang lomba.

“Selamat Leon dan Nina! Cerita kalian sangat menyentuh,” puji Kak Alisa.

Leon terlihat senang dan bangga. Ia kemudian mengajak Nina yang matanya sembap untuk kembali duduk di meja.

“Aduh mataku, aku ga bisa ngeliat menunya dengan jelas,” seru Nina jujur. Matanya yang merah dan sedikit bengkak telah membuat penglihatannya sedikit kabur.

“Kamu mau makan apa? Nasi bebek bali, soto betawi, mie goreng komplit?” tanya Leon.

“Yang ga pedes aja, aku ga mau tambah nangis karena kepedesan. Nanti tambah jelek mukaku.”

Leon tertawa kecil.

“Orang cantik biar nangis pun akan tetap cantik,” tukas Leon cool.

Nina terdiam. Ia terkejut dengan kata-kata Leon yang terdengar seperti sebuah pujian di telinganya.

“Jadi aku pesenin yang sama ya sama aku, mie goreng komplit tapi ga pedes ya?”

“Eh, kalau kamu mau pesen pedes ga apa-apa kok, ga mesti ikut pesenan aku,” jawab Nina grogi.

Leon mengangkat tangan, memanggil pelayan yang berwajah sangat ramah di kafe tersebut.

“Aku pengen kita seperti sepasang meriam itu, hanya saja aku ga mau terpisah dari kamu.”

Ucapan Leon membuat Nina bertanya-tanya di dalam hati. Ia tidak paham kemana pembicaraan Leon diarahkan.

“Semoga kerjasama ini bukan yang terakhir, Nin.”

Leon melanjutkan kata-katanya.

“Aku ingin mengenalmu lebih dekat, jika kau tidak keberatan.”

Nina tidak tahu harus membalas apa.

Kata-kata Leon barusan telah membuyarkan pikirannya.

“Boleh?” tanya pemuda itu lagi.

Nina teringat kata-kata Kak Alisa. “Biasanya kalau ada kegiatan bersama, lebih mudah untuk saling mengenal.”

Sungguh ia tidak tahu harus mengucapkan terima kasih seperti apa kepada Kak Alisa.

Berkat ide sang pemandu wisata tersebut, ia dan idola sekolah itu bisa saling mengenal dekat.

Gadis itu mengangguk pelan.

Sungguh ia tidak mengira jika sepasang meriam di kota itu akan menjadi pemantik awal kisah cintanya bersama Leon.

“Terima kasih Kak Alisa,” bisik Nina dalam hati.

***

Sumber foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen

 

About the author: Ree
Tell us something about yourself.
error: Content is protected !!