Pasar Cihapit memang terkenal karena banyak spot yang instagramable. Meski tergolong pasar tradisional, pasar ini jauh dari kata kumuh dan bau. Lorong-lorongnya dihiasi dengan berbagai mural, bahkan di antaranya tak sedikit yang merupakan hasil karya seniman ITB. Langit-langit pasarnya pun dihiasi kain-kain dan payung-payung khas Sunda pemberian mantan wali kota Bandung, Ridwan Kamil. Bahkan mantan wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno pernah mampir ke pasar ini untuk berfoto-foto.
Namun sebelum bertransformasi menjadi pasar kekinian seperti sekarang, Pasar Cihapit menyimpan sejarah kelam. Pasar ini awalnya dibangun pada tahun 1940-an. Dulu bentuknya pun hanya berupa lapangan dan tidak ada kios-kios yang diperjual-belikan atau disewakan. Siapa pun bebas berdagang di sana.
Pada zaman penjajahan Jepang, pasar ini digunakan sebagai tempat menawan orang-orang Belanda. Dibuat sebuah penjara dari pagar anyaman bambu yang dililit dengan kawat berduri. Tempat ini dijaga ketat tidak hanya oleh tentara Jepang melainkan juga warga pribumi yang tergabung dalam pasukan Heiho. Kawasan penjara ini dibuka pada November 1942 dan termasuk ke dalam Kamp Bunsho II. Tahanannya bukan hanya orang dewasa melainkan orang tua, remaja, dan anak-anak juga. Diperkirakan ada sekitar 14.000 tahanan di sini. Bagi tahanan yang berani melanggar aturan atau bersikap tidak hormat pada tentara Jepang akan disiksa, sementara bagi yang berani mencoba kabur akan ditembak di tempat. Tercatat sekitar 243 orang pernah meninggal di kamp ini.
Saat kamp penjara ini sudah tidak mampu menampung lebih banyak tawanan, pemerintah Jepang membangun kamp baru yang disebut Bloemenkemp pada Agustus 1943. Kamp ini dibatasi oleh Riowstraat (sekarang Jalan L. L. R.E. Martadinata), Tjitaroemstraat (Jalan Citarum), Houtmanweg (Jalan WR. Supratman), Bengawanslaan (Jalan Bengawan), dan Grote Postweg (JalanAhmad Yani). Kamp ini lebih banyak diisi oleh tawanan perempuan, orang tua, dan anak-anak.
Meski terdengar menakutkan, kehidupan sebagai tawanan di kamp ini tidak selalu menyedihkan. Dengan ditawannya artis Corry Vonk di Bloemenkemp, pertunjukan kabaret dapat diadakan di sana. Berbagai kursus seperti meramal dengan kartu tarot sering diadakan di taman segitiga Poelaoelaoetweg (sekarang Jalan Pulolaut). Para tahanan juga mendapat dua kali ‘kebaikan’ hati Kaisar Jepang, yaitu diizinkan mengirim surat kepada anggota keluarga di kamp lainnya. Namun surat tersebut tidak boleh lebih dari 25 kata, tidak boleh diberi tanggal, dan harus ditulis dalam bahasa Indonesia. Isi suratnya pun hanya boleh menceritakan kabar gembira.
Kamp ini akhirnya ditutup pada tahun 1944, dan sisa tawanannya disebar di berbagai kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah. Kamp ini mulai kembali beralih fungsi menjadi pasar lagi beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Perombakan pertama pun baru dilakukan pada tahun 1990-an oleh Dinas Pasar. Pasar ini pun resmi menjadi tempat nongkrong anak muda pada tahun 2015.
Featured Image:i.pinimg.com