Meningkatnya konflik antara Palestina dan Israel membuat kita bertanya-tanya mengenai latar belakang terjadinya ketegangan di antara dua pihak. Oleh karena itu, dalam beberapa minggu ke depan, kami dari The Heritage Opera akan mencoba mengenal sejarah dan juga kekayaan budaya yang berlokasi di tempat konflik ini. Semoga konflik segera usai dan perdamaian cepat dicapai. Doa kami untuk para penduduk sipil yang menjadi korban konflik Palestina-Israel ini.
***
Sebelum Perang Dunia II meletus, Nazi telah merencanakan deportasi umat Yahudi dari Jerman beserta wilayah kekuasaannya. Hitler berpendapat “tidak ada satu pun tempat pertumpahan darah heroik Jerman yang pantas menjadi tempat tinggal musuh terburuk Jerman”. Beberapa wilayah seperti Siberia, Australia, Madagaskar Prancis, Rhodesia Britania, Abyssinia (jajahan Italia), dan Palestina (jajahan Britania Raya) dipertimbangkan untuk merelokasi orang-orang Yahudi. Berbagai upaya diplomatik pun dilakukan dengan pemegang wilayah tersebut agar bersedia menampung para Yahudi.
Awalnya Madagaskar menjadi pulau yang paling serius dipertimbangkan. Pulau ini merupakan daerah terpencil, serta kondisinya yang tidak menguntungkan pada saat itu dipercaya akan mempercepat kematian para Yahudi. Rencana deportasi ini disebut sebagai “Rencana Madagaskar; solusi akhir teritorial”.
Namun Palestina menjadi satu-satunya lokasi yang sukses membuahkan hasil yang signifikan. Rencana relokasi ini disepakati oleh pemerintah Nazi dan die Zionistische Vereinigung für Deutschland (Federasi Zionis Jerman) melalui Perjanjian Haavara tahun 1933. Perjanjian ini memungkinkan migrasi sekitar 60.000 orang Yahudi Jerman ke Palestina selama tahun 1933 hingga 1939. Perjanjian ini juga memungkinkan umat Yahudi untuk menyelamatkan beberapa harta dan aset yang sebelumnya dipaksa untuk dilepaskan sebelum berangkat. Sebagian dari harta benda ini bisa diperoleh kembali dengan cara mengirimnya ke Palestina sebagai barang ekspor Jerman.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada tahun 1947. Kapal SS Exodus membawa hampir 5.000 penyintas Holokaus yang tidak memiliki sertifikat imigrasi resmi ke Palestina. Kapal ini berangkat dari Sète, kota di Prancis antara pukul dua hingga empat pagi tanggal 11 Juli. Penumpang kapal tersebut terdiri dari 1.600 pria, 1.282 wanita, dan 1.672 anak-anak dan remaja. Kapal ini dikapteni oleh Ike Aronowicz dan dikomandani Haganah Yossi Harel. Kapal itu juga diawaki sekitar 35 sukarelawan, kebanyakan orang Yahudi Amerika.
Kapal itu dipenuhi dengan persediaan yang cukup untuk bertahan selama dua minggu. Penumpang diberi makanan matang, minuman panas, sup, dan satu liter air minum setiap hari. Mereka mencuci dengan air garam. Kapal itu hanya memiliki 13 kamar kecil. Seorang dokter militer Inggris, yang memeriksa kapal setelah pertempuran, mengatakan bahwa kapal itu sangat penuh sesak, tetapi kebersihannya memuaskan dan kapal tampak siap untuk mengatasi korban. Beberapa bayi juga lahir selama perjalanan selama seminggu. Kapal ini tiba di Palestina tanggal 18 Juli.
Featured Image: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Exodus_1947_after_British_takeover.jpg