Pada tahun 675 Masehi, Kaisar Tenmu melarang konsumsi daging sapi, kuda, ayam, dan monyet selama bulan April ke September. Sang Kaisar dengan tegas melarang masyarakat untuk memakan hewan-hewan yang mereka pelihara. Namun, larangan ini tidak berlaku untuk hewan-hewan buruan yang hidup di alam liar. Sejarawan percaya bahwa larangan ini dipengaruhi oleh membesarnya pengaruh Buddha di negeri matahari terbit. Kepercayaan mengenai reinkarnasi yang berkembang yakni jika seseorang memakan daging dari hewan-hewan yang berkaki empat maka setelah ia mati, ia pun akan bereinkarnasi menjadi hewan kaki empat. Oleh karena itu, bagi mereka yang memakan daging hewan berkaki empat seperti kambing liar, serigala, kelinci maupun rakun tidak diperbolehkan mengunjungi kuil sebelum menyucikan diri selama lima hari. Hari penyucian akan lebih lama bagi mereka yang memakan babi atau rusa. Orang-orang yang mengonsumsi kedua hewan tersebut harus menyucikan diri selama 60 hari. Sedangkan mereka yang mengonsumsi sapi atau kuda, harus membersihkan diri selama 150 hari. Penegakan aturan ini kurang lebih berlangsung selama seratus tahun setelah dekrit yang dikeluarkan oleh Kaisar Tenmu.
Sumber foto: Wikipedia
Namun sebenarnya, jauh sebelum masuknya Buddha, penduduk setempat memang sudah lama mengandalkan ikan dan makanan laut sebagai menu hariannya. Naomishi Ishige, salah satu sejarawan Jepang, menuliskan bahwa masyarakat Jepang tempo dulu mengandalkan protein nabati dari nasi, dan bukan dari daging ataupun susu. Interaksi mereka dengan misionaris dari negara asing lambat laun mengubah tradisi konsumsi daging ini. Ketika para misionaris Portugis tiba di Jepang, mereka diperingatkan oleh masyarakat lokal bahwa minum susu sama seperti orang yang minum darah, dan memakan daging sapi adalah sebuah kegiatan yang ada di luar nalar. Masyarakat Portugis yang menetap di Nagasaki pun memperkenalkan teknik menggoreng masakan yang kemudian disebut oleh masyarakat lokal sebagai tempura. Nama tempura berasal dari bahasa latin yakni quatour anni tempora, atau masa pertobatan yang dianut oleh paham-paham gereja Katolik Barat. Pada masa pertobatan ini, mereka tidak diperkenankan untuk memakan daging.
Kios Tenpura di Zaman Edo
Sumber foto: https://www.pinterest.jp/pin/841610249097246357/
Tentu saja di masa-masa peralihan ini, daging hewan buruan masih dikonsumsi oleh masyarakat Jepang. Restoran-restoran yang memasang plakat Yama Kujira merupakan tempat dimana pengunjung bisa menikmati masakan daging hewan buruan. Diet tidak makan daging ini mulai berubah di abad 19. Setelah Kaisar Meiji berkuasa, pemerintah Jepang lebih membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh barat, termasuk percaya bahwa alasan mengapa fisik masyarakat Jepang lebih kecil dari penduduk barat adalah karena mereka tidak makan daging atau produk-produk hewani. Budaya baru ini sempat mendapatkan perlawanan keras dari para biksu dan petani yang menganggap bahwa sapi adalah partner mereka untuk bekerja. Namun sejalan dengan modernisasi, lambat laun masyarakat Jepang semakin terbiasa mengonsumsi daging. Berbagai menu original seperti sukiyaki pun tercipta. Restoran sukiyaki pertama pun dibuka di Yokohama pada tahun 1862. Sepuluh tahun setelahnya, Kaisar Jepang merayakan tahun baru dengan menu daging. Hal ini kemudian memicu konsumsi daging di kalangan masyarakat biasa dan kini kita bisa menemukan banyak sekali menu daging di diet harian penduduk Jepang.
Sukiyaki
Sumber foto: Wikipedia
Adakah di antara Heritage Lovers sekalian yang sudah pernah mencicipi menu daging ala Jepang? Jangan lupa share di THO ya.
Salam lestari.
Tim THO
Featured image: asuka2020.com