“Malah abdi mantri guru/dikukut basa keur leutik/dilebetkeun ka sakola/saban sasih nampi gajih/pasihan ti Kangjeng Holla/abdi nuhun laksa keti.”

“Malah saya mantri guru / dipelihara sejak kecil / dimasukkan sekolah / setiap bulan mendapat gaji / pemberian Tuan Holle / terima kasih saya sangat tak terhingga.”

Sekelompok murid sekolah Sunda membacakan syair pada peresmian sebuah tugu di Alun-alun Garut, 29 Oktober 1899. Monumen kehormatan ini dibangun untuk mengenang jasa seorang meneer Belanda yang akrab disapa Tuan Holla oleh masyarakat Sunda yang tinggal di kota dodol itu. Sang tuan meninggal tiga tahun sebelumnya, 3 Mei 1896. Di halaman PTPN VIII Cisaruni saya bersama para peserta Historical Trips melihat replika tugu tersebut. Sayang tugu yang asli hancur pada masa penjajahan Jepang.

Tuan Holla yang dimaksud adalah Karel Frederik Holle, pengusaha perkebunan asal Belanda yang pertama kali datang ke tanah Jawa pada tahun 1843. Setelah sepuluh tahun bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah kolonial, beliau lalu membuka perkebunan teh Waspada di Cikajang, Garut. Masa pensiunnya dihabiskan sebagai administratuur.  “Semua perkebunan teh di Cisaruni, Cikajang, dan Garut, berada dibawah pengawasan beliau,” kata Antoni, seorang generasi ketiga keluarga Holle.

Selain mengelola perkebunan, Holle juga menaruh minat besar pada kebudayaan Sunda. Beliau sering terlihat berpakaian seperti penduduk lokal dan dengan luwes bicara basa Sunda. “Hij sprak het Soendanees al seen Soendanees,” kata seorang rekannya, yang berarti “Dia bicara bahasa Sunda seperti orang Sunda.” Raden Haji Moehammad Moesa, penghulu besar Garut pada masa itu, adalah salah seorang sahabatnya. Mereka bekerjasama menerjemahkan sejumlah naskah kuno dari situs Ciburuy. Dukungannya terhadap pendidikan dan pengembangan masyarakat Sunda sangat besar. Tahun 1851, bekerjasama dengan saudaranya, Andriaan Walraven, Holle menerbitkan sebuah cerita binatang berjudul Tjarita Koera-koera Djeng Monjet, ditulis menggunakan bahasa yang dipakai di kalangan petani.

Bekerjasama dengan istri-istri pegawai perkebunan teh di Bayongbong, Garut,  beliau juga menciptakan corak batik yang terinspirasi dari suasana pertanian, perkebunan, dan keindahan alam disebut Garutan. Seiring pindahnya perkebunan dari Bayongbong ke Cikajang, corak batik ini pun ikut terbawa. Saat ini industry batik lebih berkembang di daerah perkotaan, khususnya di sekitar Jalan Ciledug dan Jalan Papandayan. Sukaenah, pemilik Butik Tulis Garutan Beken di Ciledug, kecamatan Garut Kota adalah generasi keempat pembatik garutan. Menurutnya, corak batik garutan asli yang masih dilestarikan sampai sekarang adalah motif lereng, kumeli (kentang), dan tanjung anom. Kemungkinan buyut wanita ini belajar corak-corak batik tersebut dari Tuan Holla.

Kedekatan dengan penduduk lokal mungkin adalah salah satu kunci sukses di usaha perkebunan teh. Hella S. Hasse dalam bukunya Sang Juragan Teh menulis nasehat yang diberikan meneer  Holle kepada sepupu mudanya, Rudolf Kerkhoven, yang waktu itu baru terjun di bisnis perkebunan. “Kau barangkali pernah dengar bahwa orang-orang Sunda itu malas, tapi jangan percaya itu. Yang perlu kau lakukan adalah berusaha sedikit untuk memperlihatkan dengan jelas kepada mereka keuntungan-keuntungan apa yang mereka dapat dari metode bertani terbaru. Mereka belum menyadari keuntungannya untuk jangka panjang.”

Mitra noe tani, atau sahabat petani adalah julukan urang Sunda kepada Karel Frederik Holle, orang Belanda yang  lebih nyunda daripada saya.  Dank u well meneer voor u bijdrage. Terima kasih Tuan Holla atas semua kontribusi  pada tanah Priangan.

error: Content is protected !!