Menyelamatkan Toko Het Snoephuis

By: Arditya Laksono

Pada suatu hari yang cerah di tahun 1929, aroma harum kayu manis dari bokkenpootjes dan suikerbollen yang sedang diolah di dapur menyebar ke seluruh ruang hingga ke luar Het Snoephuis. Toko baru di Braga Weg ini mulai menarik perhatian pejalan kaki di sekitarnya. Awalnya hanya satu-dua orang yang datang, namun tak lama kemudian makin ramai. Semua pelanggan sangat menikmati kue-kue yang dihidangkan di sana. Tak lama kemudian, toko ini semakin terkenal dan memiliki pelanggan tetap, khususnya warga Belanda dan warga kelas atas lainnya. Saking ramainya, mesin kasir tak hentinya mengeluarkan bunyi “ting” seolah-olah mesin itu adalah instrumen musik.

Toko ini terus bertahan bahkan hingga Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tak lama, toko ini akhirnya berubah nama menjadi “Sumber Hidangan”. Walaupun berubah nama, tetapi kesegaran roti di sana tetap sama seperti saat pertama kali toko itu dibuka di tahun 1929. Hari terus berganti, banyak kenangan tersimpan di ruangan Snoephuis yang luas. Kini, toko itu tak lagi seramai di zaman kolonial Belanda. Bangunan toko mulai kusam karena dimakan usia. Kehadiran mall dan toko roti moderen telah membuat banyak orang mulai lupa akan toko roti yang legendaris ini. Walaupun memiliki pelanggan tetap dan kerap didatangi oleh turis asing, tetap saja hingar-bingarnya tidak seperti dulu.

Pandemi Covid-19 yang muncul di awal tahun 2020 kian memperburuk keadaan. Toko ini semakin sepi dari pengunjung akibat diberlakukannya pembatasan sosial. Sedih dan tertekan, itulah yang dirasakan oleh pemilik Snoephuis. Karena pendapatan tidak mencukupi untuk melakukan perawatan bangunan, kondisi bangunan makin tak terawat. Cat di dinding pun sudah mulai muram, semuram orang paruh baya yang sudah kehilangan semangat hidupnya. Perabotan di dalam toko pun sudah mulai banyak yang usang dimakan usia. Karena putus asa dan bingung harus melakukan apa lagi untuk mempertahankan Het Snoephuis alias Sumber Hidangan, Ia pun memutuskan untuk menutup toko itu dan menjualnya. Banyak pelanggan setia yang sedih mendengar kabar penutupan itu. Mereka akan merindukan aroma kayu manis yang menggugah selera dari kue-kue khas Belanda yang disajikan di sana.

Pada suatu sore, hujan mulai mengguyur jalan Braga. Tibalah saatnya bagi sang pemilik beserta karyawan dan pelanggan setia mengucapkan selamat tinggal kepada Het Snoephuis. Hari itu adalah hari terakhir toko itu beroperasi. Diiringi tetesan air mata, mereka menutup pintu toko untuk terakhir kalinya. Banyak kenangan indah tersimpan di toko ini yang akan terus dikenang di dalam hati mereka. Keesokan paginya, sang pemilik memasang plang “DIJUAL” pada dinding depan tokonya. Tak butuh waktu lama, banyak orang yang tertarik untuk membeli bekas gedung Het Snoephuis, mengingat lokasinya yang berada di Jalan Braga yang ikonik. Hingga pada suatu hari ada seorang wanita yang menawarkan harga fantastis yang mungkin akan sulit ditolak oleh sang pemilik untuk melepas toko yang telah menjadi bagian dari kehidupannya itu. Wanita itu menyatakan bahwa Ia akan mengubah Het Snoephuis menjadi kafe kopi kekinian yang digandrungi anak muda zaman sekarang. Demi mempercepat proses penjualan bangunan, sang calon pembeli bahkan menjanjikan akan membayar secara tunai di hari yang sama. Sang pemilik pun mulai bingung, Ia sebenarnya sudah bertekad untuk menjual tokonya akan tetapi hati kecilnya berkata lain. Suasana hatinya makin tak karuan, Ia pun meminta izin kepada sang calon pembeli untuk memberinya waktu satu minggu untuk berpikir. Sang pemilik pun merasa lega karena bisa memikirkan nasib toko yang Ia sayangi sebelum benar-benar dijual ke orang lain.

Pada suatu malam, sang pemilik datang mengunjungi tokonya. Hujan kembali mengguyur jalan Braga. Nampaknya bangunan Het Snoephuis yang sudah tua renta tak lagi mampu menahan derasnya hujan. Tetesan air dari langit-langit yang bocor meramaikan ruangan toko yang sudah sepi itu. Si pemilik kemudian duduk terdiam sambil merenung. Hati kecilnya sebenernya tak rela bila toko kesayangannya dijual, namun keadaan ekonomi keluarganya sedang sulit. Karena terlalu lelah berpikir, Ia pun tertidur di tengah cahaya lampu yang remang-remang. Ia tertidur di meja kasir, tempat di mana Ia selalu menyapa pelanggan pada saat tokonya masih buka. Tiba-tiba, sesosok bayangan putih datang dan membangunkannya dari tidurnya. Ia pun amat terkejut ketika terbangun dan mengetahui bayangan putih itu adalah ayahnya. Dengan wajah sedih, ayahnya memeluk anaknya dan berpesan agar jangan menjual Het Snoephuis apapun yang terjadi.

Suasana toko yang sepi itu pun mendadak menjadi ramai. Ia melihat banyak bayangan putih lain duduk di meja-meja yang kosong. Awalnya Ia sangat ketakutan karena melihat arwah ayahnya dan orang-orang yang dulunya menjadi pelanggan setia Het Snoephuis. Namun, Ia tak lagi takut karena merasa seperti kembali ke masa kecilnya ketika Ia sering membantu ayahnya di toko melayani pelanggan. Bau apek akibat lembab pun berubah menjadi aroma kayu manis yang khas di toko itu. Para arwah mengelilingi sang pemilik dan menyatakan rasa sedihnya karena Ia akan menjual Het Snoephuis. Mereka khawatir, gedungnya akan dihancurkan dan kehilangan kenangan manis mereka di sini.

Tak lama berselang, salah satu arwah mendekati dirinya. Sesosok arwah noni Belanda yang cantik itu mendekat dan tangan kirinya menunjuk pada sebuah laci di meja kasir. Sang pemilik pun heran, mengapa si noni itu menunjuk ke laci itu, seakan menyuruhnya untuk membukanya. Padahal, menurut pengetahuannya, laci itu sudah macet dan tak bisa dibuka sejak dulu. Karena penasaran, Ia mencoba membukanya kembali. Secara ajaib, laci yang puluhan tahun macet itu bisa dibuka. Di dalamnya terdapat sebuah foto keluarga Indo-Belanda dan alamat yang tak jauh dari Jalan Braga. Setelah dilihat, ternyata noni Belanda itu adalah istri dari bangsawan Indonesia yang dulunya tinggal tak jauh dari sini. Sambil mengucek matanya, sang pemilik pun tersadar wajah sang noni itu mirip dengan wanita yang ingin membeli Het Snoephuis yang Ia temui beberapa waktu yang lalu. Tak sempat untuk bertanya, arwah noni Belanda beserta yang lainnya tiba-tiba menghilang dan meninggalkannya sendirian.

Waktu untuk bertemu wanita calon pembeli tokonya pun tiba. Sang calon pembeli menanyakan apakah si pemilik siap untuk menjual tokonya. Namun belum selesai Ia bicara, sang pemilik menyodorkan foto yang Ia dapat dari laci meja kasir yang macet itu. Ketika melihat foto itu, sang wanita langsung terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca ketika memandangi foto itu. Ya, itu adalah foto kakek dan neneknya ketika muda. Foto itu telah lama hilang dari arsip keluarganya, dan telah mencarinya ke berbagai tempat tanpa hasil yang memuaskan. Ia sangat merindukan neneknya yang telah meninggal setahun lalu. Saat Ia masih kecil neneknya sering mengajaknya membeli roti ke toko ini. Itulah yang menjadi alasannya untuk membeli Het Snoephuis. Sang pemilik toko akhirnya menawarkan untuk bekerjasama saja ketimbang menjual tokonya. Wanita itu diijinkan untuk membuka kedai kopi modern dengan syarat harus merenovasi Het Snoephuis seperti sedia kala. Sang wanita pun setuju dengan permintaan sang pemilik. Tiga bulan kemudian, renovasi telah selesai dilakukan. Het Snoephuis alias Sumber Hidangan kini tak lagi semuram saat hari terakhir operasionalnya. Sang wanita memanfaatkan sebagian kecil dari ruangan Het Snoephuis yang luas itu sebagai kedai kopinya tanpa merusak keaslian yang ada. Toko yang tadinya sepi kini mulai ramai kembali oleh pelanggan, terutama kawula muda yang kerap memesan kopi dan roti dari toko ini secara daring. Mesin kasir tua yang disayang sang pemilik kini telah menjadi pajangan dan telah digantikan dengan komputer yang dapat menerima pesanan manual dan daring. Het Snoephuis kini bersemi kembali seperti di masa jayanya saat masa kolonial Belanda. Pada suatu malam ketika sang pemilik sedang membereskan tokonya, tiba-tiba ada secarik kertas melayang di atas kepalanya. Kertas itu nampak sudah tua dan menguning, dan terdapat tulisan di balik kertas itu yang berbunyi “Terima kasih telah mempertahankan Het Snoephuis, sekarang kami bisa istirahat dengan tenang”. Ia pun bangga telah memilih keputusan yang benar, dan Het Snoephuis tetap bertahan di zaman modern ini. -TAMAT-

About the author: Arditya L.
Tell us something about yourself.
error: Content is protected !!