Bangsa Cina sejak dulu dikenal memiliki darah pedagang. Jauh sebelum teknologi maju seperti sekarang, mereka telah menjelajah ke luar negeri untuk menjajakan dagangannya. Salah satu negara yang mereka kunjungi tentu saja Indonesia. Aktivitas perdagangan mereka di Nusantara terekam dalam jurnal penjelajah Cina sejak abad ke 4. Tidak heran bahwa etnis ini pun turut meninggalkan jejak dalam catatan sejarah Indonesia.
Dulunya masyarakat Cina yang menetap di Batavia diizinkan untuk tinggal di dalam kota. Namun pada bulan Oktober 1740, terjadi sebuah pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pacinan/Tragedi Angke. Dalam bahasa Belanda sendiri tragedi ini disebut Chinezenmoord, yang artinya ‘Pembunuhan orang Cina’. Pemberontakan ini dipicu oleh penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda dan jatuhnya harga gula yang menyebabkan pemasukan mereka menurun. Memang pada saat itu banyak keturunan Cina yang bekerja sebagai buruh di pabrik gula. Adriaan Valckenier, Guberner-Jenderal Hindia-Belanda ke-25, dengan tegas menyatakan segala bentuk pemberontakan harus ditanggapi dengan keras juga sehingga terjadilah pembantaian.
Warga Cina yang tersisa pun tidak diperkenankan untuk tinggal di dalam Batavia. Mereka pun membentuk pemukiman sendiri di luar bastion (tembok benteng yang mengelilingi kota), tepatnya di sisi selatan. Di sisi tembok tersebut terdapat Diestpoort (Pintu Kecil) yang menjadi alternatif gerbang keluar-masuk kota Batavia. Pintu tersebut telah berdiri sejak tahun 1638 dan selalu dijaga paling tidak oleh seorang perwira.
Area Pintu Kecil inilah yang kemudian berkembang menjadi Glodok yang kita kenal sekarang, yaitu pusat bisnis. Pintu ini juga dijuluki dengan sebutan ‘Pintu Amsterdam’. Jika kita bandingkan dengan lokasi sekarang maka letaknya sedikit berada di luar ‘kota berbenteng’, yaitu di sekitar Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa, tak jauh dari Kali Besar. Dalam berbagai catatan sejarah yang menampilkan foto Pintu Kecil di masa lalu, area ini dipenuhi bangunan berarsitektur Cina. Salah satu catatan menarik tentang pintu kecil datang dari jurnal seorang serdadu di awal abad ke-20, “Kami masih dalam perjalanan keliling di kampung pecinan dan sampai di akhir dari Pintu Kecil. Belok kiri, menyeberangi jembatan lalu tibalah di Kali Besar yang terkenal itu. Daerah perniagaan orang Belanda!” Catatan tersebut dikumpulkan oleh HCC Clockener Brousson, seorang perwira veteran Perang Aceh yang kemudian memuatnya dalam surat kabar ‘Bandera Wolanda’. Sayangnya kini jejak-jejak arsitektur asli Cina sudah lenyap dari area Pintu Kecil akibat kerusuhan 20 Mei 1998.
Featured Image: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Diest_Poort.jpg