Seri bandoeng tempo doeloe:

Ini cerpen fiksi romantis ya, bertempat di gedung indonesia menggugat, jalan perintis kemerdekaan no. 5, bandung, yang dulu tahun 1907 dibangun sebagai rumah warga belanda dan tahun 1917 jadi landraad alias pengadilan pemerintah kolonial belanda ya,.. here we go,..

 

Fiksi sejarah romance. Bandoeng djaman doeloe

Judul: saya cintakan kamu.

Hari itu bulan februari atau maret mungkin, tahun 1907 katanya aku lahir kedunia, tempatnya dikota bandung disamping gedung tempat tinggal warga belanda. Ibuku tukang cuci digedung itu. Masa kecil yang ku ingat adalah masa masa membantu ibu membawa cucian dari rumah mereka dan setelah itu ibu akan mencucinya dengan hati hati lalu aku akan membantu ibu menjemurnya. Biasanya ibu akan mendapat upah beras setangkup tangan, beberapa yang baik akan memberi sisa sisa ikan, atau ada yang bahkan tersenyum kepadaku dan memberiku batu yang berasa manis dibungkus plastik kecil. Aku menyukainya tapi tidak boleh memaksa atau mengharapkannya setiap kali, kata ibu.

Suatu hari saat kami menunggu pakaian disalah satu kamar luas di gedung itu, aku bertemu dengannya. Gadis kecil lucu berbahasa tertatih, berbicara lantang kepada tuan rumah, yang tak pernah kulihat ibukupun berani melakukannya. Tapi sang tuan hanya tertawa. Lalu melihatku, dan memanggilku, sambil berbicara dengan ibu dia tersenyum dan menyuruhku mandi membersihkan diri didalam dan menggunakan pakaian bersih pemberiannya. Harum sekali. Berbeda dengan milikku yang kotor dan lusuh.

Aku diminta ibu tinggal disana sampai matahari tenggelam dan melakukan apapun yang diperintahkan oleh mereka termasuk gadis kecil itu. Gadis itu menyuruhku untuk membungkuk dan mulai menaiki punggungku, aku akan mulai berjalan jalan mengelilingi ruangan dan dia akan tertawa tawa diatas punggungku. Masa kecil dimana aku mengenangnya. Masa kecil ketika aku mengingatnya. Sekarang aku sedang melihat gadis kecil itu. Dengan tatapan penuh makna berusaha membelaku digedung itu. Yah gedung perumahan belanda itu kini berubah nama menjadi landraad atau pengadilan kolonial belanda, 1917.

Wajahku masih berasa sakit dari pukulan demi pukulan yang kuterima di penjara. Gadis kecil itu berubah menjadi gadis dewasa yang cantik dan menarik. Namun matanya bersedih, beberapa kali ia menangis melihatku. Ah, seburuk itukah wajahku. Tapi tidak mengapa. Hatiku senang bisa melihatnya. Dia terlampau cantik, terlampau menarik dan terlampau baik, padaku. Aku sudah sangat senang bisa melihatnya lagi. Meski hukuman mati akan segera kuterima karna diduga sebagai salah satu pemuda golongan kelompok pembebasan belanda. Ini bentuk penghianatan terhadap pemerintahan belanda. Meski hanya berupa dugaan, tentu saja hukuman mati.

Tapi tak apalah. Didetik akhir hidupku, aku bisa melihatnya lagi. Sayang bukan tawanya yang renyah ketika naik dipunggungku. Tapi air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir dikedua pipinya yang mulai memerah dan matanya yang sudah bengkak. Oh, kasian sekali. Wajah itu membengkak dan memerah karenaku. Janganlah duhai tuan puteriku yang cantik. Janganlah menangisi pemuda bodoh dengan angan yang tinggi. Jangan duhai tuan puteriku yang anggun.

Ah, mataku mulai terasa ngantuk. Sekali. Sesekali mataku terpejam dan mengingat ngingat kembali, alasan kenapa aku bisa duduk disini dalam keadaan bonyok dengan luka tonjok dari polisi belanda. Waktu itu selepas mengangkut barang barang kebutuhan orang orang belanda. Aku beristirahat sebentar dibawah pohon yang rindang. Sejuk sekali. Sesekali aku mengingat senyum tuan putri yang selalu datang dan memberiku sebuah telur dengan sedikit garam. Supaya aku kuat bermain dengannya katanya. Sudah lama juga kami bermain bersama. Sejak ibuku meninggal beberapa tahun lalu, aku mulai bekerja menjadi kuli dikeluarga belanda. Mengangkut dan membantu apa saja. Mengerjakan apa saja. Dengan upah setangkup nasi yang sudah matang. Tapi karna kebaikan tuan putri kepadaku, aku selalu dapat jatah rahasia darinya. Yah, rahasia katanya. Kalau ketahuan ayahnya dia bisa dibunuh. Tapi tuan putriku baru saja balik dan berlibur. Dia sedang menempuh pendidikannya di negara asalnya di belanda. Setiap kali liburan dia akan bertemu ayahnya dan secara rahasia menemuiku. Mengajariku berbahasa belanda.

Pintar sekali tuan putriku. Dan baik hati. Dan cantik. Dan bukan milikku.

Suatu ketika saat aku sedang menikmati telur pemberian tuan putriku yang cantik, aku tiba tiba mendengar suara grusuk dibalik rerumputan diseberang kali. Dan beberapa suara tembakan. Orang orang segera memanggilku untuk bersembunyi tetapi terlalu terlambat, orang orang itu berlarian kearahku, menabrakku, matanya merah, tapi bukan karna ketakutan tapi karna amarah yang membuncah buncah. Ia melihat mataku lalu meludahi wajahku sambil bergumam “dasar penghianat bangsa, kacung belanda!!” ia menyelipkan sesuatu dibajuku. Sesuatu yang harusnya kubuang segera. Tapi tidak kulakukan.
Dan orang orang belanda itu melihatku memeriksa pakaianku dengan kasar sekali lalu menemukan benda yang diselipkan sebelumnya. Aku tidak terlalu memerhatikannya, tapi itu keliatan seperti 3 warna kain dengan kain berwarna yang paling bawah tercincang cincang dan hampir sobek. Aku tidak mengerti tapi kemudian aku dibawa kedalam sel tahanan dan tonjokan demi tonjokan untuk setiap pertanyaanpun mulai kudapatkan.
Sampai ketika pistol panjang itu mulai ditempelkan dikepalaku. Tiba tiba dia menurunkannya dan seseorang dengan lembut mulai memelukku dan menangis dibahuku. Dia tuan putriku.

Tuan putriku yang cantik. Yang anggun. Yang baik hati. Dan bukan milikku.

Setelah berdebat beberapa lama, akhirnya hari ini aku berada disidang ini. Ditempat ini. Tempat yang dulunya ibu sering membawaku mengambil pakaian kotor. Tempat ketika pertama kali aku menemui tuan putriku. Dulu sekali, dia tampak lucu menggemaskan. Tapi aku bahkan tak berani menyentuhnya. Takut tubuh mungil, nan putih itu akan rusak ketika kusentuh dengan tangan kasarku.

Dan sekarang wajahnya memerah dan sembab karenaku. Tapi pantaskah aku menerima kesedihannya yang sedalam ini untukku. Sampai membuat wajahnya memerah bengkak air mata? Aku ingin sekali berada didekatnya sekarang, aku tak berani menyeka air matanya dengan tangan kasarku. Tapi aku ingin mengatakan padanya untuk berhenti menangis. Atau aku ingin menjadi tunggangannya lagi dan membuatnya tertawa tawa seperti waktu kecil dulu. Ah tuan putriku, tolong, janganlah menangis. Aku sedih sekali melihatnya. Hatiku terasa lebih sakit dari luka luka ditubuh ku, ketika melihatnya menangis seperti itu.

Aku teringat, masa masa berliburnya ketika istirahat siang dia mulai bercerita tentang pemuda pemuda yang menggoda nya disekolahnya dibelanda. Ada yang pintar, ada yang bodoh, ada yang tenar, ada yang merupakan idola di sekolahnya. Dan dia tak menerima satupun diantara mereka. Aku akan tersenyum mendengarnya. Lalu tiba tiba matanya sedikit marah dan bibirnya mulai berbentuk lucu menggemaskan. Dan memalingkan wajahnya sambil melirikku sesekali. Lalu aku akan bicara “tentu saja, tuan putri terlalu baik untuk mereka semua”, dan dia mulai tersenyum kembali lalu menyuapiku dengan tangannya yang lembut. Lembut sekali. Aku suka saat dia menyuapiku sambil tersenyum riang gembira. Ah tuan putriku yang cantik dan lucu masih sama seperti dulu.

Aku terbangun dari hayalku, saat bajuku dicengkram dan wajahku ditampar, “bangun bodoh”, “hei, apa yang kau lakukan?, hentikan”, “ ha? Nona, dia sudah ditetapkan hukuman mati, apa kau tuli?”, “singkirkan tanganmu darinya!”, polisi itu berhenti mencengkeram bajuku saat dia dihentikan oleh polisi lain disebelahnya, “aku akan ajukan banding!”,”tidak ada banding untuk rakyat jelata, nona, pengadilan inipun sia sia”. Tuan putri berlari memelukku dan mulai sesenggukan. Waktuku terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku menunggunya berhenti menangis. Tapi ia juga tak berhenti menangis. Saat ini telinganya berada dekat dengan bibirku. Aku bergumam padanya, “Tuan putri, maukah melakukan sesuatu untukku, yang akan membuat ku sangat bahagia saat ini dan selamanya?”, “a..a..aku akan mengeluarkan mu,.. deng..dengan car..cara ap..apapun”,. Aku menggeleng lemah. “tidak, bukan itu tuan putriku”, matanya mulai menatapku, “tersenyumlah, dan jangan pernah menangis lagi. Melihatmu menangis terasa lebih sakit dari luka luka di seluruh tubuhku. Kumohon, untuk sekarang dan seterusnya, tersenyumlah”. Tuan putri menatap ku lama sekali. Seakan waktu perlahan berhenti. Disisa sisa airmatanya, dia tersenyum untuk ku. Indah sekali. Pemandangan yang indah sekali. Dia memelukku sekali lagi dan samar samar sebelum aku dibawa kembali ke ruang bawah tanah dalam penjara, ia berbisik dekat ditelingaku, “saya cintakan kamu”.

About the author: Wahida
Tell us something about yourself.
error: Content is protected !!