Istilah Crazy Rich sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Istilah crazy rich ini menunjuk pada orang – orang yang memiliki kekayaan dengan gaya hidup yang luar biasa dan bahkan dianggap “gila” oleh kebanyakan orang. Di era serba modern seperti ini banyak lahir crazy rich yang muncul dan dikenal banyak orang bukan hanya tentang kemewahan dan kekayaannya melainkan juga tingkah “gila”nya untuk menunjukkan eksistensi kesuksesan mereka. Sebut saja seperti Tomli Wafa, Melvin Tenggara, Budi said yang merupakan contoh nama – nama pengusaha sukses asal surabaya dan dikenal dengan istiah Crazy Rich Surabayan.
Jika di abad ke-21 banyak populasi crazy rich berumunculan, lalu bagaimana dengan era 90-an? Apakah di era tersebut sudah ada crazy rich? Jawabannya, Ada! Misalnya Crazy Rich era 90’an yang dikenal dengan “Saudagar Bandoeng”. Saudagar Bandoeng ini merupakan saudagar muslim di Bandung di awal abad ke-20. Asal usul saudagar bandoeng ini berasal dari Jawa Tengah yang datang ke Bandung pada pertengahan abad ke-19. Menurut sejarah, mereka ini merupakan pelarian senopati pasukan Diponegoro. Tujuan mereka bermigrasi ke Bandung ini untuk menghindari hukuman dari penguasa mataram terkait pemberontakan Diponegoro. Mereka – mereka ini rela untuk menanggalkan gelar senopatinya dan membentuk identitas di Bandung untuk menjadi pedagang batik. Mereka memilih tempat yang relatif dikuasai pribumi yaitu Pasar baru yang kemudian menjadi Pasar utuh (1906). Pada saat itu mereka menekuni usaha di bidang batik yang di ambil dari pusat industri batik di Solo, Yogyakarta, Gresik, Pekalongan, Banyumas dan sebagainya untuk dipasarkan di pasar – pasar sekitar Bandung yakni Padalarang, Cimahi, Lembang, Banjaran, Cicalengka, Ujungberung dan lain – lain. Pendistribusian batik dari jawa tengah menuju Bandung dipermudah setelah adanya moda transportasi kereta api. Pembukaan jalur kereta api Bandung – Vorstenlanden (1894) sangat membawa pengaruh signifikan bagi perdagangan batik di Bandung. Mungkin kita bertanya – tanya mengapa komoditas batik yang dipilih oleh para Crazy Rich Bandoeng di era tersebut? Hal ini dikarenakan batik di era tersebut menjadi pasaran yang menarik di dunia mode. Di kalangan priyayi, batik menjadi simbol status sosial dan bagi kalangan lain, batik merupakan trendsetter mode di saat itu. Dan diatas itu semua, banyak jenis batik yang relatif murah yang juga dapat dijangkau semua kalangan. Maka tidak salah jika para Crazy Rich Bandoeng ini berlomba – lomba untuk menjual batik di Bandung saat itu. Untuk sistem pemasaran batik kala itu awalnya dilakukan dengan sistem ngayuh atau sistem commisie kepada para mandoran. Yang kemudian lambat laun menjadi sistem grosiran karena meningkatnya permintaan akan batik di era tersebut. Meningkatnya permintaan ini di dominasi oleh pedagang eceran di sekitar alun – alun atau pedagang di seantero Tatar Priangan. Dari fenomena inilah yang membuat Bandung segera dikenal sebagai pusat perdagangan batik di provinsi Jawa Barat yang seperti halnya pusat grosir tekstil di Tanah Abang, Batavia. Pendapatan rata – rata Crazy Rich Bandoeng yang menjual komoditi batik ini tidak pernah kurang dari seribu gulden. Meningkatnya perekonomian di Bandung ini juga di dukung oleh sarana kereta api yang melancarkan mobilitas penduduk pulau jawa menuju Bandung. Para migran ini terus mengalir menggunakan jasa kereta api yang kemudian ditunjang pula kesediaan penginapan yang berada di sekitar stasiun. Dilaporkan beberapa orang haji yang mana saat itu merupakan seorang Crazy Rich Bandoeng telah membuka sejumlah penginapan murah untuk mereka yang datang dari luar Bandung. Sejumlah nama penginapan itu mengindikasikan asal daerah para Crazy Rich Bandoeng saat itu seperti Hotel Adem Ayem, Bin Sin, Bandung, Cheribon, Family, Hoa An, Pantjawarna, Pasundan, Sulawesi, Semarang, Sumatera, Thung Hoa, Tiong Hoa, Tiong Kok, Tong An, Trio, dan Victoria. Salah satu tokoh Crazy Rich Bandoeng adalah Haji Pachroerodji yang bertempat tinggal tidak jauh dari Pasar Baru (Jl. Otto Iskandar Dinata sekarang), bekas kediamannya kini dijadikan Bank Bumi Artha. Nama Haji Pachroerodji sekarang diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan jalan Otto Iskandar Dinata dengan gang Tamim. Sebuah nama jalan yang nyaris tidak terlihat lagi sebab terhalang oleh terpal pedagang kaki lima yang memadati area terluar Pasar Baru.
Berbicara tentang kisah sukses Crazy Rich Bandoeng, lantas bagaimana gaya hidup Crazy Rich Bandoeng di awal 90-an kala itu? Menurut jejak yang terekam oleh sejarah, para Crazy Rich Bandoeng memiliki pilihan gaya hidup kesuksesan yang relatif berbeda dari kelompok yang lain. Sejumlah ciri itu tampak seperti dalam pemilihan gaya berpakaian, model arsitektur rumah, pilihan menginvestasikan uang, serta upacara hajatan perkawinan. Sebagai Crazy Rich Bandoeng Era 90-an yang cukup terpandang di Bandung, dalam beberapa kesempatan tertentu mereka mengenakan busana yang khas dan cenderung beragam. Tetapi pada umumnya menggunakan beskap dan sarung sebagai kesatuan pakaian. Yang membedakan adalah penutup kepala. Bagi Crazy Rich Bandoeng yang sudah ber-haji, mengenakan sorban merrupakan keniscayaan. Sedangkan yang belum ber-haji, hanya menggunakan penutup kepala biasa seperti blangkon. Setelah itu untuk arsitektur rumah, para Crazy Rich Bandoeng saat itu dicirikan dengan bangunan rumah yang cukup mewah dengan bahan dasar batu bata yang memiliki sejumlah pintu. Ciri khas utama yang mencirikan bahwa rumah tersebut adalah milik Crazy Rich Bandoeng adalah rumah yang memiliki lima pintu. Setelah rumah, para Crazy Rich Bandoeng ini memiliki kebiasaan menyimpan atau menginvestasikan uang yang dimiliki dengan cara membeli sejumlah tanah persil yang berada di sekitar Pasar Baru. Selain membeli tanah disekitar pasar, ada juga beberapa Crazy Rich Bandoeng yang membeli tanah disekitar kampung Kebon Kawung yang dilakukan oleh Haji Ali dan sanak familinya, Haji Iskat, Haji Akbar dan Haji Mohammad Mesri. Sementara itu, kehadiran Himpoenan Soedara yang dirintis sejak 1906 memungkinkan untuk para Crazy Rich Bandoeng dan keluarganya untuk menyimpan uang pada lembaga simpan-pinjam ini. Cara yang relatif modern dan kosmopolit dalam menyimpan kekayaan saat itu. Lembaga simpan-pinjam atau kini lebih dikenal dengan bank merupakan institusi modern yang kerap menjadi pelengkap fasilitas warga kota. Satu cara pandang baru dalam hal mengamankan kekayaan selain menyimpan dalam bentuk tanah atau emas. Kesuksesan para Crazy Rich Bandoeng belum lengkap jika belum membahas pada perhelatan upacara pernikahan yang terbilang mewah dengan hidangan yang relatif banyak. Yang mana di era itu, tolak ukur mengenai status seseorang dapat dilihat dari hidangan pesta yang diselenggarakan. Jamuan yang cukup melimpah bagi para tamu undangan dalam acara hajatan pernikahan.. Selain dari jamuan hidangan yang melimpah, para tamu undangan diberikan hiburan wayang golek yang dilaksanakan selama semalam suntuk. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa sang punya hajat bukanlah dari kalangan orang biasa mengingat dengan menggelar pertunjukan wayang sebagai hiburan semalam suntuk ini berbiaya relatif sangat mahal.
Melihat kisah sukses dan gaya hidup Crazy Rich Bandoeng awal 90-an ini dapat ditarik kesimpulan bahwa di era itu Kota Bandung dengan dinamikanya sendiri telah menumbuhkan kelas – kelas baru di masyarakat yang di dominasi oleh sektor perdagangan. Pilihan menjadi pedagang telah menghantarkan mereka tumbuh sebagai kelompok orang kaya baru yang memiliki sejumlah kekayaan dan hidup terpandang di dalam masyarakat Sunda.
Sumber: Rohayati, Dede. 2018. “Saudagar Bandoeng, 1906 – 1930-an”. Jurnal Lembaran Sejarah Vol. 14 No. 1 hal 98-111