Sudah dekat.

Aku bisa merasakannnya.

Gadis dengan aroma bunga mawar. 

Alea terperanjat.

Suara pria bernada serak-serak basah itu kembali terdengar.

Ini sudah kelima kalinya ia mendengar suara tersebut dalam mimpinya.

Alea tertegun. Ia memperhatikan tirai hijau yang mengelilinginya.

“Rumah sakit?” tanyanya saat melihat tirai tersebut. Alea melirik pelan ke pakaian yang ia kenakan. Gaun rumah sakit, bisiknya lemah. Kini ia punya sebuah pertanyaan besar. Ya, kenapa ia bisa sampai ada di rumah sakit?

Kepala Alea masih terasa berat. Namun bau alkohol dan suasana suram rumah sakit membuatnya tidak nyaman. Alea ingin segera pergi meninggalkan bilik rumah sakit tersebut. Samar-samar, ia seperti masih bisa mendengar suara bisikan laki-laki yang muncul dalam mimpinya.

Gadis itu merogoh saku gaun rumah sakit. Ia mencari-cari keberadaan telepon pintarnya. Sadar bahwa telepon itu tidak ada di saku, Alea pun segera meraih bantal yang ada di ranjang. Harapannya pupus, telepon pintarnya tidak ada. Gadis itu menoleh ke bawah, memeriksa laci yang ada di sebelah ranjang rumah sakit. Aneh sekali, barang-barangnya sama sekali tidak ada! Tidak hanya teleponnya, tas ranselnya pun tidak ada.

Wajah Alea bertambah pucat karena mendengar suara langkah kaki yang berat. Ia mulai berpikiran macam-macam. Bahkan Alea mengira bahwa dirinya masih terjebak di alam mimpi. Ia pun mencoba mengingat momen terakhirnya sebelum berada di rumah sakit.

“Sebentar, bukankah seharusnya aku berada di jalan raya? Barang-barangku, apakah tertinggal di dalam taksi?” tanya gadis itu dengan dahi mengernyit.

Suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Alea memperkirakan jika sosok itu berada tidak jauh dari ranjangnya. Gadis itu buru-buru naik ke atas ranjang. Ia meraih tiang infus yang rencananya akan ia gunakan untuk mempertahankan diri. Dari balik tirai Alea dapat melihat siluet hitam yang semakin lama semakin dekat.

Alea mencengkeram tiang infusnya. “Mahesa, kamu dimana? Mahesa,” panggil Alea dalam hati. Ia sungguh berharap sang kekasih dapat mendengar panggilannya.

Alea pelan-pelan melepas jarum infusnya. Sambil meringis kesakitan, ia mencoba menghentikan pendarahan dengan menekan pembuluh darahnya. Namun ia tidak boleh menyerah dan membiarkan rasa sakit itu merajalela. Bertahan hidup, itulah yang harus ia lakukan, ujar Alea meyakinkan diri.

Sosok itu berdiri lama di depan ranjang Alea.

Saat tirai itu nyaris terbuka, ada embusan angin yang datang secara tiba-tiba. Tirai tersebut langsung tertutup lagi dengan rapat. Dari embusan angin tersebut Mahesa muncul.

“Mahesa?”

Alea sungguh lega. Kehadiran sang kekasih menenangkan hatinya.

“Kamu kemana saja?” tanya Alea setengah emosi. Bisa-bisanya Mahesa mengabaikan keselamatannya, kutuk Alea dalam hati.

“Petok,” suara ayam pun terdengar kencang.

Alea memandang ayam jantan yang tengah ada di pelukan Mahesa.

Kekasihnya itu berdiri di depan ranjangnya sambil menggendong seekor ayam berwarna belang tiga.

Mahesa mengenakan kaos putih dan celana hawaii berwarna biru muda. Dua-duanya terlihat lusuh, seperti sudah melewati ribuan cobaan yang tidak dapat lagi disampaikan di acara dunia dalam berita.

“Kenapa kamu memanggilku?” tanyanya polos.

Alea menatap Mahesa sekali lagi. Wibawa sang penerus Kaisar Langit itu lenyap begitu saja. Wajah Mahesa dipenuhi goresan tanah kering. Warna kulitnya juga tidak secerah biasanya.

Penampilan Mahesa sungguh membuat Alea gelisah. Namun tentu saja yang membuat ia bertambah risih adalah wajah ayam yang dibawa Mahesa.

“Petok,” respons sang ayam seakan paham bahwa Alea sedang mempertanyakan identitasnya.

Mahesa menyerahkan ayam itu ke tangan Alea.

“Eh bentar ya, kalau tidak penting-penting amat, aku kembali dulu merawat pasienku. Nanti aku balik lagi, titip dulu si petok.”

Belum sempat Alea menyatakan keberatannya, Mahesa sudah hilang dari pandangannya. Dewa itu sudah berpindah dimensi. Tentu saja Alea tidak tahu kemana dewa itu pergi.

Psat!!

Mahesa muncul lagi.

Kali ini ia membawa sekeranjang ketela dan daunnya.

“Ini dikasih pasien lagi. Sini si petok, aku bawa ke apartemen dulu ya. Nanti aku ke sini lagi,” ujarnya dengan wajah lugu.

Alea melongo. “Emangnya kamu lagi kerja di mana? Pasar?”

Teriakan Alea pun sia-sia. Mahesa sudah terlanjur pergi.

Beberapa saat setelah Mahesa menghilang, Alea kembali mendengar suara desah napas yang berat.

Kali ini ia mendengar pukulan-pukulan kayu yang dihantam ke arah dinding rumah sakit.

Bulu kuduk Alea berdiri. Ia teringat mimpinya beberapa hari yang lalu. Kini mimpi itu kembali jelas teringat. Kehadiran sosok misterius yang mengejarnya tanpa henti. Sekencang apapun Alea berlari, ia tidak bisa menemukan jalan keluar. Ia akan berakhir di sebuah tempat gelap dan dingin.

Pucat pasi. Itulah wajah Alea sekarang. Ia tidak sanggup membayangkan jika mimpinya menjadi kenyataan. Kemana ia harus berlari dan bagaimana ia harus menyelamatkan diri?

Suara pukulan kayu itu semakin kencang. Ia juga perlahan mendengar suara gedoran pintu.

Alea kembali menggenggam tongkat infus di sebelah ranjang. Ia tidak bisa memungkiri jika suara gedoran pintu barusan membuatnya tidak tenang. Jemarinya mencoba meraih tombol nurse call. Namun ia tidak mengerti kenapa tombol itu sama sekali tidak berfungsi.

Tidak ada pilihan lain, Alea hanya bisa mengandalkan tongkat infus tersebut untuk mempertahankan diri.

“Mahesa,” panggilnya dalam hati. Ia berharap Mahesa mendengar telepatinya. Alea yakin jika suara aneh tersebut bukan berasal dari manusia biasa. Bahkan terburuknya, sosok itu bukanlah manusia.

“Mahesa, Mahesa kamu dimana? Cepat datang, aku takut.”

Alea terus-terusan memanggil kekasihnya. Ia sungguh tidak berani menghadapi momen ini seorang diri. Ia memerlukan Mahesa yang ia yakini dapat menjamin keselamatannya.

Terpanggil oleh telepati Alea, Mahesa pun menampakkan diri.

Dewa itu terkejut melihat infus yang sudah terlepas dari tangan sang kekasih.

“Alea? Kamu kenapa?”

Mahesa cepat-cepat menurunkan tiang infus yang tengah dipegang Alea. Ia mendekati gadis itu dan membelai rambutnya.

“Ada apa?”

“Ada sesuatu, bisakah kau lihat di luar tirai? Aku merasakan kehadiran makhluk aneh,” jelas Alea. Tubuhnya gemetar. Rupanya ia benar-benar ketakutan.

Mahesa mengecek ke luar tirai. Ia memeriksa situasi dengan kekuatannya. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Mahesa pun curiga jika Alea hanya berhalusinasi saja.

“Aku tidak berbohong. Tadi aku mendengar suara pukulan aneh.”

“Tapi aku sudah cek. Tidak ada apa-apa Alea,” balas Mahesa.

“Jadi suara itu apa? Daritadi ia menerorku,” ucap Alea berupaya meyakinkan Mahesa.

Sang dewa kembali membelai rambut Alea.

“Kamu terlalu banyak pikiran. Sudah kubilang, lupakan saja petualanganmu di masa lalu.”

Alea menepis tangan dewa itu. Ia sengaja menunjukkan raut tidak suka. Alea ingin Mahesa percaya padanya.

“Kau harus percaya padaku, aku mendapatkan mimpi seperti ini sebelumnya.”

Gadis itu mulai frustrasi karena Mahesa tidak kunjung memercayai ceritanya.

“Mimpi? Lalu kau mau bilang jika mimpi-mimpimu menjadi kenyataan?”

“Kau tidak percaya padaku? Aku sudah mengalaminya berulang kali. Aku yakin mimpiku bukan mimpi biasa.”

Sang dewa tidak percaya jika kemampuan Alea bisa berevolusi. Tidak ada alasan bagi gadis itu untuk memiliki kemampuan psikis baru. Bukankah mereka tidak sedang menghadapi ancaman musuh apapun?!

***

Keesokan harinya, Alea sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Wajah gadis itu masih terlihat kuyu. Ia terlihat tidak bertenaga. Tatapannya sangat kosong.

Alea tidak bisa membohongi perasaannya. Ia begitu resah. Kekhawatiran bahwa sesuatu tengah mengincar nyawanya membuat Alea tidak bisa tidur. Walau semalaman penuh Mahesa menemaninya di pinggir ranjang, gadis itu tetap tidak tenang.

Ia melihat ke belakang koridor apartemen, memastikan tidak ada penguntit.

Mahesa memperhatikan gerak-gerik Alea.

“Kamu kenapa?”

Alea tidak membalas. Ia tahu Mahesa pasti akan menuduhnya terlalu parno.

“Nggak ada apa-apa Alea. Masa sih kamu ga percaya sama aku?”

“Tapi,…” Alea tidak melanjutkan kata-katanya. Percuma saja merayu Mahesa yang sejak awal memang tidak mau percaya padanya.

“Aku pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa panggil aku lagi.”

“Jangan pergi.”

“Tapi….” elak Mahesa. Dewa itu masih memikirkan sejumlah oleh-oleh yang dijanjikan oleh para penduduk kampung yang dirawatnya.

“Apa lagi yang kamu mau bawa?! Lihat itu semua.”

Alea menunjuk ke arah  tumpukan bahan makanan yang dibawa Mahesa dari Kepulauan Seribu. Gadis itu menunjuk ke arah kerat umbi-umbian, beras maupun kerajinan tangan yang dihadiahkan oleh para penduduk kampung sebagai tanda terima kasih. Berkat pertolongan Mahesa, mereka semua bisa mendapatkan kesempatan berobat dengan gratis.

Alea juga menunjuk ke arah ayam kampung jantan yang dibawa Mahesa kemarin.

“Ini juga, sampai kapan dia mau tinggal di sini?” protes Alea kesal.

“Pe-tok,” timpal sang ayam, tahu bahwa dirinya menjadi topik pembicaraan.

Alea emosi. Wajah ayam yang berpura-pura bodoh itu menyulut perasaannya.

“Ah, petok, kau suka tempat ini?” sapa Mahesa ramah.

“Dia suka, aku yang tidak suka!!!” jerit Alea kesal. Ia pun mengancam akan mengakhiri hubungan mereka jika dewa itu tidak kunjung memercayai ceritanya.

“Kau yang harus percaya padaku, kau tidak perlu takut! Mana mungkin aku tidak melindungimu?” balas Mahesa dengan nada tinggi.

Dewa itu kemudian mengucapkan salam perpisahan.

“Lagipula ada Nobi bersaudara,” ucap Mahesa sebelum meninggalkan unit apartemen Alea.

Alea menitikkan air mata. Ia kecewa Mahesa tidak mengindahkan permintaannya. Sungguh berharap Mahesa akan tinggal menjaganya sampai situasi benar-benar aman. Kenapa Mahesa malah meninggalkannya begitu saja, gumam Alea sedih.

“Nona,” panggil Nobi dari belakang gadis itu. Kucing ajaib itu rupanya telah menyiapkan secangkir teh beraroma mint untuk Alea.

“Tenang nona, kami cukup kuat untuk melindungimu,” hibur Sobi menunjukkan otot mungil di tangannya.

“Hah, tangkep tikus aja kemarin gagal,” ejek Kobi.

“Heh!!!” Sobi protes. Ia tidak suka jika Kobi membongkar skandalnya.

Alea tersenyum. “Kalian, memang paling lucu sedunia! Lindungi aku ya, aku yakin kalian lebih kuat dari Mahesa.”

Nobi bersaudara mengangguk. Mereka bertiga bergantian memijat pundak Alea dengan lembut.

“Nona, ngomong-ngomong, ayam ini harus aku apakan?” tanya Kobi. Ia risih dengan ayam jantan yang mulai sering mendominasi tempat tidurnya.

“Lepaskan saja dia di taman bawah apartemen. Kalau Mahesa tanya, bilang ayam ini melarikan diri,” jawab Alea yang memang sedari awal menolak keberadaan ayam itu di kamar apartemennya.

Kobi menatap wajah Alea.

“Nona, kalau aku yang melepas ayam ini sendirian. Aku bisa mati di tangan Tuan Pushan,” jawabnya jujur. Ia ingin hidup lebih lama.

Kucing itu takut dihukum oleh Dewa Pushan, nama asli Mahesa, yang memang sangat protektif terhadap barang-barang pribadinya.

“Ya sudah ayo kita beramai-ramai melepaskannya,” ajak Alea. Kalaupun Mahesa marah kan, semuanya bakal kena marah, pikir Alea.

Gadis itu kemudian pergi bersama Kobi bersaudara ke lantai satu.

Ia menyembunyikan ayam itu di balik tas rotannya.

Nobi mengikuti langkah Alea dari belakang. Ia bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak tertangkap sorotan kamera cctv.

Mereka cepat-cepat menyelusup ke pintu yang menghubungkan gedung utama dengan koridor belakang apartemen.

Taman itu memang gelap dan pencahayaannya cukup buruk.

Benar-benar tempat yang cocok untuk melepas si petok, gumam Alea licik.

Namun langkah Alea terhenti. Ia terpana melihat dekorasi taman belakang apartemen.

Biasanya tempat ini sepi dari pengunjung.

Tapi hari ini ada puluhan umbul-umbul dan pita yang terpasang di sepanjang area.

Alea membaca sebuah papan yang terpasang di dalam taman.

“Mohon maaf kenyamanan anda terganggu. Kami akan mengadakan pesta komunitas besok lusa, silahkan datang jika anda ingin menemukan sahabat baru.”

Pesta Komunitas?

Alea langsung membayangkan bazaar berisi makanan dan minuman yang melimpah ruah. Ia tersenyum girang, begitu pula dengan Kobi bersaudara yang sudah membayangkan pembagian jus wortel organik favorit mereka.

Kegembiraan itu tidak berlangsung lama.

Ketika Kobi bersaudara lengah, dua sosok laki-laki langsung menyergap Alea dari belakang.

Gadis itu tidak sempat berteriak. Ia tidak kuasa bergerak. Mulutnya tersumpal sesuatu dan tangannya dikunci dengan kuat.

Samar-samar Alea mendengar lantunan mantra.

Langlunglang, langlunglang. Kita berhasil! Kita berhasil!

Alea menitikkan air mata. Sebelum jatuh terlelap, ia mengutuk Mahesa yang tidak percaya pada kekhawatirannya.

“Kau lihat, Kedua sosok mengerikan itu benar-benar datang untuk mengambil tubuhku. Masihkah kau meragukan mimpi-mimpiku?”

***

error: Content is protected !!